Bagikan:

JAKARTA - Partai Golkar akan menggelar Musyawarah Nasional untuk memilih ketua umum baru pada Desember. Ada empat tokoh yang mencuat jadi calon ketua umumnya, mereka adalah Airlangga Hartarto (petahana), Bambang Soesatyo, Ridwan Hisjam, dan Indra Bambang Utoyo. Dari empat nama itu, dua nama disebut jadi calon yang terkuat, Airlangga dan Bambang Soesatyo.

Munasnya belum berjalan, tapi wacana proses pemilihan ketua umum sudah mengemuka. Yang pasti, aklamasi tak akan terjadi di partai berlambang beringin ini, kata Wakil Sekretaris Badan Kajian Strategis dan Intelijen Partai Golkar Djafar Ruliansyah Lubis yang menolak proses tersebut.

Aklamasi baginya akan membuat partai ini hancur. Katanya, proses aklamasi ini terjadi di Partai Golkar hanya pada masa Orde Baru, setelahnya sudah tidak ada sama sekali. Klaimnya dia, Partai Golkar-lah yang pertama kali mempertontonkan pada rakyat Indonesia soal demokrasi pemilihan pemimpin partainya dengan meninggalkan pola jadul, 'sistem aklamasi'.

Ketakutan terjadinya aklamasi muncul ketika 33 dari 34 DPD I Partai Golkar menyuarakan dukungan untuk Airlangga Hartarto, pada Rapimnas Partai Golkar 14 November. Namun, peristiwa politik tersebut tak bisa dibaca sesederhana itu.

"Kalau ada yang percaya diri terpilih karena didukung mayoritas DPD I, jelas hal tersebut keliru,"  Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago dilansir Antara, Senin 18 November.

Kata dia, keberadaan 514 DPD II Partai Golkar akan menjadi penentu berjalannya atau gagalnya skenario aklamasi itu. Pangi mengatakan, dengan jumlah yang mencapai ratusan itu, pengurus Golkar tingkat kabupaten/kota jadi pemilik suara yang paling signifikan dalam Munas Golkar bila dibanding DPD I yang jumlahnya hanya 34.

Contohnya saja pada Munas Golkar 2004, kata Pangi. Kala itu Akbar Tandjung sebagai calon ketua umum Partai Golkar sangat percaya diri karena sudah memegang penuh suara DPD I. Tapi belakangan, kalah dari Jusuf Kalla yang dapat suara dari mayoritas DPD II.

Sementara, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar Maman Abdurahman mengatakan, dorongan musyawarah mufakat dalam memilih calon ketua umum partai adalah bagian dari evaluasi dan proses perjalanan panjang. Sebab, katanya, Munas dengan cara voting selalu meninggalkan bekas luka dari sisa pertarungan berupa faksi (pemenang dan yang kalah) sehingga mewarisi konflik internal yang berkepanjangan. 

"Jadi saya pikir kita harus upayakan agar ini terwujud. Kalau ada yang tidak setuju musyawarah mufakat justru patut dipertanyakan itu," tuturnya.

Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai ada sejumlah keuntungan bila pemilihan ketua umum Partai Golkar dilakukan secara musyawarah. Keuntungan itu di antaranya; partai menjalankan sila keempat dari Pancasila dan pembukaan UUD 1945, mencegah konflik di internal partai, memelihara soliditas di internal partai, biaya politik lebih murah, meniadakan kemungkikanan praktek politik karena tawaran 'logistik' yang lebih besar sehingga menjadi fokus pada perjuangan politik, hingga menghindari politik menang-kalah antar faksi.