JAKARTA - Gempa Cianjur, 21 November 2022, pukul 13:21:10 WIB seolah membangkitkan ingatan penulis 8 tahun silam.
Ketika itu penulis berstatus sebagai mahasiswa petugas belajar di Chiba University, Jepang, asal Kementerian Pertanian menghadiri sebuah sidang mahasiswi doktoral asal Indonesia.
Promovendus adalah Febty Febriani, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang memaparkan wilayah rawan gempa di sepanjang jalur Sukabumi, Cianjur, hingga Bandung.
Ia menyebut wilayah itu sebagai zona Sesar Cimandiri. Di zona sesar itu selama 16 tahun (1996-2012) telah terjadi 15 kali gempa dengan magnitudo 1,1-5,3. Sesar adalah patahan lempeng bumi.
Sesar Cimandiri mudah dikenali karena membentuk lembah di sepanjang aliran Sungai Cimandiri yang membentang dari Teluk Sukabumi hingga Bandung.
Lembah tersebut diisi oleh material vulkanik. Barangkali hanya itu ingatan penulis tentang Cimandiri yang disampaikannya 8 tahun silam.
Paparan lainnya sulit dicerna karena terkait bidang geofisika. Bidang itu bukan bidang ilmu yang penulis geluti. Sebagai peneliti pertanian dengan bidang ilmu tanah, penulis lebih membayangkan sebuah kawasan lembah, di sepanjang aliran sungai, dan diisi material vulkanik tentu merupakan lahan yang subur.
Kawasan lembah di bagian bawah lereng tentu mendapat pasokan tanah dari bagian atas secara terus menerus yang kaya nutrisi. Demikian pula material vulkanik mengandung banyak nutrisi yang bermanfaat bagi tanaman.
Dengan kata lain, kesuburan tanah di kawasan sesar itu selalu terus diperbarui secara alami karena secara geografis dekat dengan gunung berapi dan sungai, sementara secara topografis berada di bagian bawah lereng.
Ketika itu penulis dihantui bayangan bahwa suatu saat akan terjadi gempa besar di wilayah subur tersebut. Di kalangan ilmuwan tanah, memang telah lama melihat pola, meskipun tidak selalu bahwa lahan-lahan yang subur seringkali rawan bencana sehingga dihindari untuk pemukiman.
Sebut saja wilayah di dekat sungai, kawasan delta, maupun di dekat gunung berapi yang subur untuk pertanian, merupakan daerah rawan untuk permukiman karena ancaman banjir atau erupsi gunung berapi.
Pada konteks itulah nenek moyang leluhur bangsa ini, meskipun tidak belajar mitigasi bencana secara formal, telah melakukan zonasi sebagai mitigasi bencana.
Mitigasi yang mereka lakukan bersifat avoiding alias menghindari tinggal di daerah bencana. Daerah-daerah pemukiman selalu terpisah dengan permukiman berbentuk dusun atau desa.
Zonasi yang paling ekstrim dapat ditemui di Sumatera Selatan bagian timur. Penduduk desa banyak memiliki lahan pertanian yang berupa lahan rawa sehingga rawan banjir.
Lahan dapat ditanami di musim kemarau, tetapi tergenang di musim hujan. Penduduk memilih bermukim di area yang lebih tinggi meskipun jauh dari lahan pertaniannya.
Tidak jarang area pertanian dengan area pemukiman sebuah masyarakat berada di luar batas administrasi desa, kecamatan, bahkan kabupatennya karena mengikuti pola aliran sungai.
Pada konteks tersebut, bencana berupa banjir, letusan gunung api, atau gempa, tidak pernah memakan korban jiwa yang tinggi.
Musababnya, seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, Peneliti Pusat Riset Geospasial, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam diskusi terbatas dengan sesama peneliti menjelaskan gempa sebenarnya tidak membunuh.
Zona Sesar
Gempa tak akan menyebabkan korban jiwa selama tak ada jembatan patah, tebing longsor, atau bangunan ambruk yang melibatkan manusia di sekitarnya.
Seperti dugaan penulis, gempa Cianjur kali ini pusat episentrumnya berada pada koordinat 107,06 derajat BT dan 6,863 derajat LS.
Penulis mencoba meletakkan koordinat tersebut di Google Earth Pro untuk melihat penggunaan lahan dan tutupan lahan di pusat gempa.
Bila sebelumnya pusat gempa lebih sering berada di lautan, kini titik tersebut ternyata benar-benar berada di tengah sawah yang subur.
Ia berada di antara Kecamatan Cugenang dan Kecamatan Warung Kondang sehingga wajar sekali pemukiman yang berada di kedua daerah tersebut rusak parah.
Pusat gempa berada di tengah sawah yang dibatasi oleh jalan raya yang mengelilinginya. Pusat pemukiman berada di pinggir-pinggir jalan raya yang memanjang.
Dikhawatirkan di masa depan lahan pertanian yang rawan gempa itu semakin padat karena desakan penduduk untuk membangun pemukiman. Zonasi yang dulu dibuat secara tidak sadar oleh nenek moyang kita terancam berubah.
Persoalannya di era modern adalah laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Lahan pertanian dan area pemukiman yang dahulu telah dilakukan zonasi oleh nenek moyang kita secara alami tak lagi sama.
Ledakan penduduk telah memaksa wilayah pertanian menciut berganti menjadi kawasan pemukiman. Hal itu terjadi pula di zona sesar Cimandiri yang sebagian besar area pertanian yang rawan gempa.
Diperlukan kesadaran semua pihak untuk melakukan mitigasi dan adaptasi hidup di daerah rawan gempa seperti di zona sesar Cimandiri.
Mitigasi yang paling ideal tentu menghindari (avoiding) hidup di daerah bencana. Lahan pertanian yang subur tetap dijaga untuk pertanian, perkebunan, dan kehutanan sehingga populasi manusia yang tinggal di daerah rawan gempa minimal.
Namun, untuk kawasan pemukiman yang telah terlanjur berada di kawasan rawan gempa pilihan yang paling mungkin adalah hidup berdampingan dengan gempa.
Pembangunan gedung untuk rumah, sekolah, rumah sakit, kantor, dan pusat bisnis harus yang tahan gempa seperti di Jepang.
Indonesia juga sebetulnya telah memiliki sejumlah aturan dan standar untuk bangunan tahan gempa, tetapi kondisi ekonomi dan pengawasan yang lemah membuat aturan dan standar tersebut sulit dipenuhi. Diperlukan inovasi untuk jalan keluar untuk membuat rumah murah tahan gempa.
Di sisi lain pelatihan tanggap bencana gempa harus masuk menjadi kurikulum di sekolah dasar dan menengah di Sukabumi, Cianjur, Subang, Purwakarta, dan Bandung.
Hanya dengan mitigasi dan adaptasi bencana, bayangan yang menghantui berupa jatuhnya ratusan korban jiwa akibat gempa dapat dihindari di negeri ini.
Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc; Peneliti di Pusat Riset Geospasial, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dilansir ANTARA, Selasa, 22 November