Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta tata kelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diperbaiki guna mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD).

"Dengan adanya peluang yang bisa digunakan, rekan-rekan daerah harus (memperbaiki) tata kelola BUMD. Kami siap mendukung, mendampingi, mengoptimalkan agar BUMD bisa bekerja sama dengan BUMN," kata Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Didik Agung Widjanarko dikutip ANTARA, Rabu, 16 November.

Hal itu dikatakannya saat menjadi narasumber dalam seminar bertajuk "Optimalisasi Pendapatan dari Sektor Tambang Melalui BUMD" di Gedung Odah Etam, Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), Rabu. Seminar itu juga rangkaian dari acara jelang Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022.

Menurut Didik, dengan tata kelola BUMD yang baik maka pendapatan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Nantinya, kata dia, keuntungan itu dapat digunakan untuk melakukan pembangunan di daerah yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Dia menjelaskan belum optimalnya BUMD tersebut juga terjadi di Kaltim yang notabene memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah.

"Sumber itu salah satunya berasal dari sektor pertambangan yang menyumbang lebih dari 40 persen perekonomian di Kaltim dengan komoditas utamanya ialah minyak, gas, dan batu bara," ujar Didik.

KPK melihat banyak BUMD yang tak memperoleh keuntungan padahal ada kontribusi negara di BUMD melalui penyertaan modal daerah. Oleh karena itu, perbaikan tata kelola BUMD perlu dilakukan.

KPK mengungkapkan sebagian BUMD yang seharusnya menjadi salah satu penyumbang PAD belum mampu menjadikan daerahnya mandiri secara fiskal karena masih bergantung pada dana transfer pemerintah pusat.

Data KPK mencatat saat ini BUMD yang ada di seluruh wilayah Indonesia yakni 959 dengan total aset mencapai Rp854,9 triliun. Namun, sebanyak 274 BUMD mengalami kerugian, 291 BUMD sakit (rugi dan ekuitas negatif), 17 BUMD kekayaan perusahaannya lebih kecil daripada kewajibannya (ekuitas negatif), 186 BUMD memiliki posisi dewan pengawas dan komisaris yang lebih banyak dibandingkan direksi, dan 60 persen BUMD tidak memiliki satuan pengawas internal.

Selain itu, KPK juga mencatat titik rawan korupsi di BUMD, di antaranya adanya pemanfaatan penyertaan modal yang tidak transparan dan akuntabel, penyuapan untuk melancarkan proyek, pemanfaatan dana "corporate social responsibility" (CSR) yang berindikasi korupsi (gratifikasi), dan kurang hati-hati dalam pengambilan keputusan ketika berusaha.

Terdapat pula indikator pemilihan direksi dan dewan pengawas kurang selektif, mekanisme pengadaan barang dan jasa tidak transparan dan akuntabel, rendahnya pengendalian dan pengawasan "fraud", dan implementasi "good corporate governance" yang belum optimal.