Mentan Syahrul Yasin Limpo: Saya Tidak Suka Impor, Kementerian Sebelah yang Buka Keran Itu
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo buka-bukaan tentang kebijakan impor. Syahrul mengaku, pada dasarnya dirinya tidak menyukai kebijakan importasi komoditas pangan. Namun, katanya, kewenangan tentang impor tak ada di bawah kementeriannya, melainkan di kementerian lain.

Lebih lanjut, Syahrul mengaku sering mendapat protes dari para petani mengenai kebijakan impor yang dikeluarkan pemerintah. Padahal, katanya, hal tersebut menjadi kewenangan kementerian yang berbeda, karena ini berkaitan dengan pasar.

"Ini juga persoalan. Saya paling tidak suka impor, tapi bagaimana kalau (menteri) yang lain buka keran itu. Yang di didemo saya oleh petani. Perlu saya luruskan dulu, importasi itu tidak di Kementerian Pertanian izinnya. Importasi di kementerian lain," tuturnya, dalam diskusi virtual, Senin, 30 November.

Syahrul berujar, Kementerian Pertanian hanya membuat Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk menentukan syarat-syarat yang bisa diimpor. Sebagai contoh, Bawang Putih dari China tidak boleh menggunakan pupuk kotoran babi.

"Kami menentukan RIPH-nya, yang menentukan izin (impor) itu bukan di kita. Ini kadang-kadang salah persepsi. Sehingga dipikir ada apa, tidak ada. Semua penetapan dengan melakukan analisa-analisa," jelasnya.

Di samping itu, Syahrul menjelaskan, impor komoditas dengan jumlah besar dan sesuai dengan rekomendasi Kementan hanya ada dua.

Pertama adalah daging sapi 200 hingga 300 ribu ton. Kedua, Bawang Putih.

Syahrul mengakui, ada impor lain selain dua komoditas itu. Namun, bukan berasal dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian.

"Persoalannya adalah kenapa daging sapi masuk, karena Indonesia ke India juga besar. Ke China itu importasi kita di atas Rp90 triliun, ini data. Ini pembicaraan bilateral antar negara yang harus dipahami oleh semua," jelasnya.

Menurut Syahrul, Indonesia bisa menghentikan impor daging sapi. Namun, konsekuensinya adalah kenaikan harga yang melonjak. Ia mengaku pernah memberhentikan impor untuk bawang putih, hasilnya harga di pasaran mencapai Rp80 ribu.

"Kalau kita mau tahan impornya, memang harga sapi jadi naik. Kita tahan impornya, saya pernah lakukan dan saya kaget tiba-tiba harga bawang putih naik Rp80 ribu, saya diserang habis. Jadi naik salah, turun salah, ini yang bagus. Hitung-hitungan tetap harus ada, pengawasan harus kita lakukan," katanya.

Menurut Syahrul, saat ini yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan daya saing produk dalam negeri. Sehingga beberapa komoditas pangan bisa diganti dengan produk dalam negeri yang kualitasnya sama dengan harga yang lebih murah.

"Tidak perlu ada yang disalahkan, tetapi yang harus kita siapkan adalah kualitas dari produktivitas kita yang harus lebih supply dengan pasar yang ada. Sesuai dengan kualitas-kualitas yang dibutuhkan. Saya butuh bantuan dari semua pihak, untuk membuat kita semakin bergeliat, tidak boleh kita bergantung terus," ucapnya.

Syahrul mengaku optimis kinerja sektor pertanian akan terus tumbuh meski tertekan pandemi COVID-19. Hal ini, kata dia terbukti dari pencapaian di kuartal III 2020 yang menembus angka 2,15 persen.

"Saya yakin kalau kita mau lihat data sedikit 2020 ini kuartal II 16,24 persen yang lain minus semua. Kemudian kuartal III kami masih tumbuh dari 16,24 menjadi 2,15 persen, di saat orang bilang enggak mungkin lagi. Kuartal IV saya berusaha bahkan saya akan lakukan percepatan," ucapnya.