JAKARTA - Polri diminta untuk memperkuat kerja sama dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) guna menekan tingginya tingkat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Saya meminta kepolisian memperkuat kerja sama dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia," kata Menko Polhukam Mahfud MD kala memimpin rapat lintas lembaga yang diikuti BP2MI dan Polri di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin 19 September kemarin.
Ia mengatakan bahwa penguatan kerja sama itu dibutuhkan karena penyelesaian kasus TPPO cukup kompleks.
"Saya tahu banyak masalahnya. Jadi, memang tidak mudah bagi BP2MI ataupun bagi Polri. Itu bukan soal teknis hukum saja melainkan soal politis dan macam-macam. Nah, itu yang harus diurai satu-satu, terutama mafianya, pengerah tenaga kerjanya, ditindak saja dulu. Lalu, kita umumkan jangan main-main. Ini masalah manusia dan sudah menjadi perhatian nasional,” ucap Mahfud dilansir dari Antara.
Menurutnya, kasus TPPO sudah terjadi sejak lama dan dalam praktiknya melibatkan berbagai pihak, baik aparat penegak hukum, imigrasi, maupun permainan di tingkat daerah.
"Ini bukan soal polisi saja melainkan ada pula soal keimigrasian, pengadilan, kejaksaan, catatan sipil, pemerintah daerah, 'bekingan' oknum, dan banyak lagi masalah lain, seperti kemiskinan dan ketidaktahuan,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Mahfud, kasus TPPO telah menjadi salah satu fokus pembahasan pemerintah, bahkan sejak tahun lalu. Dengan demikian, Mahfud meminta agar aparat kepolisian dapat memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak, terutama BP2MI.
Permintaan itu disambut baik oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol. Agus Andrianto. Ia menyampaikan kesiapannya bekerja sama dengan BP2MI untuk mengusut kasus TPPO.
“Prinsipnya, kami siap, kami punya pengalaman untuk menangani masalah ini. Kami yakin dengan pengalaman kami. Kalau kita bersatu, saya yakin upaya untuk menyelamatkan pekerja Indonesia bisa dilakukan,” kata Agus.
BACA JUGA:
Kepala BP2MI Benny Rhamdani menyampaikan bahwa modus TPPO masih menggunakan cara lama, yaitu perekrutan dengan iming-iming gaji besar sehingga masyarakat yang umumnya direkrut dari kalangan ekonomi bawah mudah terpengaruh.
“Modusnya adalah modus konvensional umum, calo turun ke masyarakat menawarkan pekerjaan, gaji besar cepat berangkat, dan semua biaya ditanggung," ujarnya.
Namun nyatanya, kata Benny, pelaku TPPO melakukan pemalsuan dokumen yang dimulai sejak di tingkat desa ataupun kelurahan.
"Mungkin penting untuk kita kerja sama dengan pemerintah desa. Kemudian, calo memberikan uang santunan kepada keluarga Rp5 juta-Rp10 juta. Bagaimana tidak tertarik secara ekonomi mereka lemah,” ucap Benny.