SURABAYA - Kementerian Agama (Kemenag) meminta asas-asas pendirian pondok pesantren dijunjung tinggi sehingga kasus seperti kekerasan seksual tidak akan terjadi lagi.
Kepala Bidang Pendidikan Diniyah Pondok Pesantren Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur As'adul Anam mengakui kasus kekerasan atau pelecehan seksual di pesantren telah terjadi sejak beberapa tahun lalu.
"Terbaru di Jatim memang ada dua kasus, yaitu di Pondok Pesantren Banyuwangi dan Jombang," ujarnya dalam siaran pers yang dikutip ANTARA, Sabtu, 9 Juli.
Kasus pelecehan seksual yang terjadi di salah satu pondok pesantren Jombang, berujung pada pencabutan izin operasional oleh Kemenag.
Kebijakan dilakukan karena terindikasi ada perintah dari kiai untuk menghalang kepolisian saat hendak menangkap putranya yang telah ditetapkan sebagai tersangka sehingga dinilai melanggar asas kemaslahatan pesantren.
Anam menjelaskan, syarat pendirian pesantren sebelum memperoleh izin operasional dari Kemenag adalah wajib memenuhi rukun makhat, di antaranya meliputi asas kebangsaan, kemanfaatan dan kemaslahatan.
"Kalau asas-asas pendirian pesantren itu dijunjung tinggi, tentu tidak akan terjadi kekerasan dalam bentuk apapun di pondok pesantren," ucapnya.
Menurut dia, tidak hanya kiai pendiri pondok pesantren yang harus menjunjung tinggi asas tersebut, namun juga berlaku bagi seluruh pemangku kebijakan setempat.
Kemenag, lanjut Anam, sebenarnya selama ini telah mengawasi keberlangsungan belajar mengajar di seluruh pondok pesantren yang memperoleh izin operasional.
BACA JUGA:
Bahkan Kemenag turut menggandeng "Rabithah Ma'ahid Islamiyah" (RMI) dari lembaga Nahdlatul Ulama (NU) dalam proses pengawasannya.
Sebelumnya, Kemenag bersama RMI telah mendeklarasikan pesantren ramah santri.
"Saat ini kami sedang menyusun buku panduan pesantren ramah santri, demi mencegah terjadinya kekerasan dalam bentuk apapun," katanya.
Anam memastikan, saat ini Kemenag juga telah berkoordinasi dengan perwakilan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNICEF untuk melaksanakan proses pendampingan, khususnya terhadap santri-santri yang pernah mendapatkan kekerasan.