Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan demam dan mual menjadi gejala dari penyakit hepatitis akut misterius yang paling banyak ditemukan pada anak di Indonesia.

“Gambaran klinis kita (di Indonesia) adalah demam. Kalau di luar negeri (di Inggris) itu penyakit kuning. Jadi kalau kita lihat gejala kita di sini demam, mual, muntah,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dikutip Antara, Jumat, 1 Juli.

Berdasarkan data Kemenkes per 23 Juni 2022 sampai dengan pukul 16.00 WIB, total kumulatif dugaan kasus hepatitis akut yang dilaporkan sebanyak 70 kasus dari 21 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan rincian, 16 kasus probable, 14 kasus pending dan 40 kasus discarded.

Nadia menuturkan gejala pada sejumlah pasien hepatitis akut misterius yang paling banyak ditemukan adalah demam (76,7 persen), mual (66,7 persen), muntah (66,7 persen), penyakit kuning atau jaundice (66,7 persen) dan hilang nafsu makan (50 persen).

Gejala tersebut, berbeda dari gejala yang terjadi di luar negeri seperti Inggris. Di Inggris, gejala yang paling banyak ditemukan adalah penyakit kuning (66,8 persen), muntah (57,6 persen), lethargy (48,6 persen), diare (43,1 persen) dan perubahan warna feses menjadi pucat (42,7 persen).

“Sedangkan di kita hanya ada satu yang positif terkena Adenovirus berdasarkan pada pemeriksaan PCR swab rektal,” kata Nadia.

Guna mencegah kasus hepatitis akut misterius pada anak berubah menjadi wabah, Nadia mengatakan Kemenkes bersama semua pihak terkait seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) terus menggalakkan sosialisasi terkait penyakit tersebut melalui Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), seperti gejala, tata laksana penanganan kasus serta fasilitas kesehatan dan laboratorium yang dijadikan sebagai layanan rujukan di daerah.

“Ada dua yang kita kampanyekan yaitu saluran cerna dan saluran nafas. Sekarang kita mendorong kalau ada demam disertai dengan gejala-gejala awal yaitu mual, muntah, diare dan sakit perut itu segera dibawa ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk memastikan apakah ini hepatitis akut atau yang lainnya,” ujar dia.

Kemenkes bersama CDC dan pemerintah Inggris juga terus menjalin komunikasi untuk mengikuti perkembangan penanganan kasus hepatitis baik terkait pemeriksaan primer atau peningkatan kewaspadaan.

Nadia menambahkan deteksi melalui Penyelidikan Epidemiologi (PE) juga akan dilakukan guna mengamati kasus dengan gejala kuning yang berpotensi menjadi hepatitis akut misterius.

“Tetap menjadi suatu kewaspadaan dari pada masyarakat maupun kewaspadaan dari puskesmas yang kemudian kalau terdapat laporan kasus kuning yang dirawat di rumah sakit atau datang ke puskesmas, dilakukan tadi PE,” ucap dia.

Nadia juga menekankan bila penularan dari manusia ke manusia belum dapat dipastikan karena dari semua pasien dalam pantauan, tidak ada satupun keluarga atau orang lain yang melakukan kontak erat ikut mengalami gejala yang sama dengan pasien.

“Dari seluruh kasus probable ini, kalau kita lakukan PE itu sebelum yang bersangkutan sakit atau sesudah yang bersangkutan sakit, tidak ada keluarga lain yang positif,” kata Nadia yang juga menjabat sebagai juru bicara vaksinasi COVID-19 Kemenkes itu.