Kata Pakar UGM, Remdesivir Cuma untuk <i>Emergency Use</i> Pasien COVID-19
Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet (Angga Nugraha)

Bagikan:

JAKARTA - PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) atau Kalbe mulai mendistribusikan obat antivirus untuk pengobatan pasien COVID-19 di Indonesia berjenis Remdesivir. Yang perlu diketahui banyak orang, Remdesivir diberikan izin edar dalam bentuk 'Emergency Use Authorization (EUA)'.

"Artinya, izin penggunaan obat diberikan secara darurat karena belum ada obat COVID-19 yang definitif dan disetujui. Bukan keadaan darurat karena pasien dalam kondisi darurat ya,”ucap Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinis UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt., seperti dilansir dari laman resmi UGM, Selasa 6 Oktober.

Remdesivir tidak akan bisa didapat secara bebas di pasaran maupun apotek. Obat ini langsung didistribusikan PT Kalbe Farma ke rumah sakit. Remdesivir diperuntukan untuk orang dewasa atau remaja yang berusia 12 tahun ke atas dengan berat badan minimal 40 kilogram (kg), yang dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang parah.

Remdesivir menjadi perbincangan banyak negara dan dalam beberapa bulan terakhir diuji coba oleh WHO. Sejumlah negara telah menggunakan obat tersebut dan menunjukkan hasil yang baik saat digunakan dalam pengobatan pasien COVID-19. Pemberian Remdesivir mampu mempersingkat masa penyembuhan pada pasien Covid-19.

"Remdesivir merupakan obat antivirus. Dulu dikembangkan untuk mengatasi virus-virus RNA  dan pernah dicobakan saat ada wabah Ebola dan MERS," kata Prof Zullies.

Guru Besar Farmasi UGM ini menjelaskan, Remdesivir adalah senyawa analog (mirip) dengan adenosine dan bisa menyusup ke dalam rantai RNA. Obat ini bekerja dengan menghambat replikasi virus dalam tubuh.

Keunikannya, obat akan mengalami perubahan menjadi zat aktif ketika sudah berada dalam tubuh pasien. Bentuk ini dapat meningkatkan masuknya obat ke dalam sel dan melindungi obat sampai di tempat kerjanya. Lalu, modifikasi penting pada remdesivir adalah gugus karbon nitrogen (CN) yang melekat pada gula. Karenanya, begitu remdesivir dimasukkan ke dalam rantai pertumbuhan RNA, keberadaan gugus CN akan menyebabkan bentuk gula mengerut.

“Pada akhirnya ini menghentikan produksi untai RNA dan menyabotase replikasi virus,” terangnya.

Selain itu, adanya perubahan ikatan C-N menjadi C-C menyebabkan remdesivir tidak dapat dilepaskan oleh enzim targetnya yaitu RNA-dependent RNA Polymerase, di mana kondisi tersebut menjadikannya tetap berada dalam rantai RNA yang tumbuh dan memblokir replikasi virus.

Lebih lanjut Zullies menyampaikan untuk penggunaan remdesivir hanya boleh digunakan pada pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dengan usia di atas 12 tahun dan berat badan minimal 40 Kg. Untuk pemberian obat dilakukan melalui injeksi dengan infus. Hari pertama sebanyak 200 miligram, lalu di hari kedua dan berikutnya diberikan sebanyak 100 miligram/hari. Adapun pemberian obat dilakukan 5 hingga 10 hari.

Kendati dapat membantu dalam pengobatan Covid-19, Zullies menyebutkan remdesivir memiliki sejumlah efek samping. Beberapa diantaranya yaitu mual dan muntah. Selain itu remdesivir bisa meningkatkan enzim transaminase di liver sehingga berpotensi merusak liver. Oleh sebab itu, penggunaan obat ini harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang terindikasi memiliki gangguan fungsi hati.

Lalu, apakah remdesivir memiliki interaksi obat dengan obat lain? Zullies mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada laporan adanya interaksi obat remdesivir dengan obat lain. Namun, ada kemungkinan penggunaan obat lain justru akan memengaruhi ketersediaan remdesivir dalam darah.

“Beberapa antibiotik seperti rifampin dan clarithromycin dilaporkan memengaruhi ketersediaan remdesivir dalam darah. Namun, itu masih sementara, mungkin bisa bertambah lagi obat yang berinteraksi jika sudah banyak informasi tentang penggunaannya,” katanya.

Zullies menyampaikan keamanan penggunaan remdesivir bagi wanita hamil dan menyusui juga belum diketahui. Namun, pada uji pre klinik pada tikus dan kera diketahui penggunaan remdesivir bisa memengaruhi ginjal pada janin.