Bagikan:

JAKARTA - Tim Tenaga Ahli Pencegahan dan Penanganan Seksual Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Rika Rosvianti mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021, memastikan terjaganya hak warga atas pendidikan.

“Kemendikbudristek telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS),” ujar Rika dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin 11 April.

Ia menyebutkan regulasi ini hadir untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, khususnya para korban yang seringkali terputus pendidikannya karena kekerasan seksual. 

Dia menambahkan aturan itu hadir untuk memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berorientasi pada kebutuhan korban.

Dalam proses dan isinya, Permendikburistek PPKS menjaga prinsip inklusif dan partisipatif dengan melibatkan jaringan masyarakat sipil yang bergerak di isu kekerasan, disabilitas dan lintas iman.

“Mari kita #GerakBersama mendukung dan mengawal implementasinya untuk menciptakan kampus yang #AmanBersama,” kata Rika dikutip Antara.

Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen dan Anggota Badan Legislasi DPR, Luluk Nur Hamidah mengapresiasi keberadaan Permendikbudristek PPKS demi menciptakan ruang belajar yang aman di perguruan tinggi.

“Permendikbudristek PPKS ini adalah kabar gembira dan mengisi kekosongan regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang belum ada secara spesifik di kampus. Ini bukan hanya terobosan, tapi revolusioner yang sangat jelas untuk melindungi para korban kekerasan seksual,” kata Luluk.

Koordinator Isu Perempuan dan Anak Pemuda Pelajar Merdeka, Kamelia Sambas, menjelaskan “Gerakan Mengawal Ruang Belajar Aman dan Nyaman di Perguruan Tinggi” telah memiliki 750 relawan.

Para relawan tersebut nantinya secara serentak melakukan kampanye di media sosial untuk memberikan keyakinan kepada para korban maupun calon korban bahwa mereka tidak sendiri dan bisa menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya.

“Harapan kami Permendikbudristek PPKS tetap menjadi payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kami juga meminta hakim Mahkamah Agung bisa bijaksana dengan menolak gugatan judicial review terhadap Permendikbudristek PPKS agar tidak melemahkan peraturan ini dalam menciptakan ruang belajar aman dan nyaman di perguruan tinggi,” kata Kamelia.

Mengacu laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 2015-2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. Namun hanya 27 persen dari aduan yang diterima terjadi di jenjang perguruan tinggi.

Berdasarkan 174 testimoni, dari 79 kampus di 29 kota, ada sebesar 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual.

Laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi juga menunjukkan ada 77 persen dosen menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual di kampus. Akan tetapi, 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus tersebut.