Melihat dari Natuna, Pemerintah Diusulkan Buat Perppu Keamanan Laut
Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Buntut dari gangguan China di laut Natuna yakni, munculnya usulan agar pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) soal keamanan laut.

Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menilai, Perppu lebih efektif diterbitkan pemerintahan daripada membuat Omnibus Law keamanan laut. Sebab, pemerintah membutuhkan waktu yang lebih lama bila mengandalkan Omnibus Law.

"Kalau Omnibus Law itu kan masih ada proses yang harus dilakukan. Nanti harus lewat DPR dan sebagainya. Kalau Perppu kan langsung besok bisa diterbitkan. Malam ini dikonsep besok bisa dilakukan," katanya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 7 Januari.

Syarief menilai, masalah keamanan laut sangat mendesak dan kritis. Sehingga, alasan itu sudah cukup untuk pemerintah menerbitkan Perppu. Apalagi, Indonesia adalah negara maritim di mana luas laut lebih besar daripada daratan.

Tak hanya itu, Syarief juga meminta pemerintahan untuk memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla). Jika memang diperlukan, lembaga ini bisa menggunakan perlengkapan perang.

"Fungsi dan tugas dari pada Bakamla juga bisa diperkuat dengan Perppu kalau memang perlu. Bakamla dapat mempergunakan armada perang negara dan perlengkapan-perlengkapan lainnya apabila kondisinya memungkinkan untuk melakukan itu," jelasnya.

Pengamanan Nelayan di Laut Natuna

Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal menjelaskan, selama ini dirinya belum mendengar kapal milik nelayan di Natuna ditabrak oleh coast guard China. Meski belum pernah ditabrak, para nelayan sudah cukup sering dikejar apabila berpapasan dengan kapal tersebut.

"Tapi kalau dikejar pernah. Nelayan yang ke laut, kalau tidak ada patroli kita, dikejar nelayan kita. Kalau ada patroli kita mereka tidak berani," katanya, ketika dihubungi, di Jakarta, Selasa, 7 Januari.

Hamid berujar, para nelayan berharap adanya patroli rutin kapal milik TNI di perairan Natuna. Walaupun, hingga saat ini nelayan masih berani untuk tetap berlayar. Namun, dengan adanya patroli rutin, masyarakat Natuna bisa tenang dan aman untuk mencari ikan. ‎

"Jadi diharapkan ada kapal pengawas kita yang continue di perbatasan. Memang seharusnya perlu menguatkan pengawasan di wilayah perbatasan itu," ucapnya.

Sekadar informasi, isu Omnibus Law keamanan laut ini muncul setelah kasus kapal ikan China memasuki perairan Natuna. Tak butuh waktu lama, Indonesia langsung melayangkan nota protes diplomatik kepada pemerintah China atas insiden tersebut. 

Nota protes atas pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dilayangkan Kementerian Luar Negeri setelah kapal penjaga pantai China mengawal nelayan untuk mencuri ikan di perairan Indonesia.

Kemenlu juga sudah memanggil Duta Besar China untuk menyampaikan protes keras. Namun, juru bicara Kemenlu China, Geng Shuang, berdalih negaranya tidak melanggar hukum internasional berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).

China menilai Natuna masuk dalam sembilan garis putus yang ditetapkan secara historis. Sembilan garis putus atau nine dash line ialah wilayah historis yang diklaim China di Laut China Selatan.

Namun, berdasarkan UNCLOS, perairan Natuna merupakan wilayah ZEE Indonesia. Kemenlu RI meminta China menghormati keputusan UNCLOS 1982 atas hak berdaulat Indonesia di ZEE tersebut.