JAKARTA - Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menjelaskan istilah gempa megathrust dan potensi tsunami yang sedang ramai diperbincangkan. Topik ini jadi sorotan terkait dengan hasil riset para ahli Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Kami apresiasi hasil riset tersebut. Para peneliti mengedukasi perihal adanya ancaman kepada masyarakat. Ancaman itu terjadi atau tidak, belum ada yang bisa memprediksi secara tepat kapan terjadinya. Namun adanya potensi itu memang betul,” kata Rahmat Triyono dalam keterangannya, Minggu, 27 September.
Potensi gempa magnitudo (M) 9,1 yang dapat memicu tsunami hingga 20 meter yang dimodelkan ahli ITB menurut Rahmat adalah skenario terburuk dari zona gempa megathrust.
“Skenario terburuk adalah skenario terbaik untuk upaya mitigasi. Jangan sampai mitigasi yang disiapkan berdasarkan skenario dengan potensi ancaman paling kecil. Justru nanti malah tidak siap jika skenario terburuk benar-benar terjadi,” ujarnya.
Potensi gempa bumi yang dapat memicu tsunami dari zona megathrust menurut Rahmat bukan hanya di selatan Jawa namun di seluruh zona megathrust dari barat Sumatera hingga selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Zona ini juga ada pada daerah Subduksi Banda, Subduksi Lempeng Laut Maluku, Subduksi Sulawesi, Subduksi Lempeng Laut Filipina dan Subduksi Utara Papua.
Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menegaskan tidak ada teknologi yang mampu prediksi secara tepat dan akurat kapan gempa akan terjadi.
“Meskipun kajian ilmiah dan permodelan dapat menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust pada kenyataannya hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi secara tepat dan akurat kapan dan dimana gempa akan terjadi,” paparnya.
Dalam kondisi ketidakpastian ini, yang perlu dilakukan menurut Daryono adalah paya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah konkret untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa.
“Informasi potensi gempa kuat di Zona Megathrust seperti ini memang rentang memicu keresahan akibat salah pengertian. Masyarakat lebih tertarik membahas kemungkinan dampak buruknya daripada pesan mitigasi yang mestinya harus dilakukan,” kata dia.
“Kecemasan publik akibat informasi potensi gempa megathrust Selatan Jawa muncul akibat salah paham. Para ahli menciptakan model potensi bencana, yang tujuannya untuk acuan mitigasi. Tetapi masyarakat memahaminya seolah akan terjadi bencana besar dalam waktu dekat. Masalah komunikasi sains ini harus diperbaiki,” papar Daryono.
Apa itu Gempa Megathrust?
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono memaparkan zona megathrust sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal.
Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan (stress) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa. Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting).
Daryono menjelaskan, jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman dangkal mencakup bidang kontak antar lempeng. Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai “patahan naik yang besar”, yang kini populer disebut sebagai zona megathrust.
“Zona megathrust bukanlah hal baru. Di Indonesia, Zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia,” kata Daryono.
Zona megathrust berada di zona subduksi aktif, seperti: (1) Subduksi Sunda mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba, (2) Subduksi Banda, (3) Subduksi Lempeng Laut Maluku, (4) Subduksi Sulawesi, (5) Subduksi Lempeng Laut Filipina, dan (6) subduksi Utara Papua.
Saat ini segmen zona megathrust Indonesia sudah dapat dikenali potensinya. Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust disebut sebagai gempa megathrust dan tidak selalu berkekuatan besar.
“Sebagai sumber gempa, zona megathrust dapat membangkitkan gempa berbagai magnitudo dan kedalaman. Data hasil monitoring BMKG menunjukkan, justru /gempa kecil’ yang lebih banyak terjadi di zona megathrust, meskipun zona megathrust dapat memicu gempa besar,” kata Daryono.