MAKASSAR - Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulawesi Selatan mengapresiasi dan menyambut baik kebijakan Pemerintah Arab Saudi mencabut keharusan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) dan karantina bagi jamaah umrah yang akan ke tanah suci.
"Kebijakan Arab Saudi mencabut beberapa larangan Protokol Kesehatan COVID-19, menjadi angin segar bagi jamaah umrah," kata Kepala Bidang Penyelenggara Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Sulsel, H Ali Yafid saat dikonfirmasi di Makassar, Senin 7 Maret.
Dengan adanya kebijakan tersebut, maka pihaknya tetap berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) mengikuti petunjuk teknis untuk menyelaraskan kebijakan itu.
Berdasarkan data Kanwil Kemenag Sulsel, jumlah anggota jamaah umrah yang mendaftar di 24 kabupaten kota di Sulsel sebanyak 36.013 ribu.
Untuk anggota jamaah umrah yang telah diberangkatkan tahun 2022, tercatat baru 202 orang dan belum diberangkatkan sebanyak 35.811 ribu orang.
Sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief menilai kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang baru ini akan berpengaruh pada penyelenggaraan umrah.
Untuk itu, Hilman berharap Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Pencegahan Bencana (BNPB) bisa mengambil langkah penyelarasan.
Pihak Kemenag juga akan berbicara dengan berbagai pihak terkait kebijakan resiprokral (reciprocal policy) antara Pemerintah Saudi dan Indonesia untuk urusan haji dan umrah ini.
Terkait keputusan Saudi Arab mencabut sebagian besar dari kebijakan prokes, khususnya berkenaan dengan karantina dan PCR, maka akan ada konsekuensi terhadap kebijakan penyelenggaraan umrah di Indonesia,.
"Saya optimis akan segara ada penyelarasan kebijakan. Apalagi, Indonesia saat ini juga sudah mulai melakukan penyesuaian kebijakan masa karantina," ucap Hilman melalui siaran persnya.
Sedangkan kebijakan One Gate Policy atau satu pintu pemberangkatan jamaah umrah dari asrama haji juga akan disesuaikan. Untuk itu, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan BNPB dan Kemenkes dalam teknis pengaturan kebijakan terkait pencegahan penyebaran COVID-19.
Koordinasi ini diperlukan mengingat ada sejumlah ketentuan yang memang harus dikompromikan.