Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyoroti cara Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang memberi penjelasan tentang alasan volume suara toa masjid dan musala perlu diatur maksimal 100 dB atau desibel. 

Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Fadli bahkan sampai mengucap istigfar atas pernyataan Menag Yaqut. Pasalnya, dalam penjelasan itu Yaqut turut mencontohkan gonggongan anjing sebagai suara-suara lain yang dapat mengganggu masyarakat. 

Padahal, menurut mantan Wakil Ketua DPR itu, pernyataan Yaqut lah yang justru akan membuat kegaduhan. Oleh karena itu, Fadli meminta Menag untuk fokus pada pekerjaan yang menjadi tupoksi kementeriannya. Terlebih persoalan haji dan umrah menjadi isu sangat penting. 

“Pejabat ini cari-cari masalah yang menimbulkan kegaduhan. Sementara urus yang besar seperti haji dan umrah tak becus,” ujar Fadli lewat akun Twitter pribadinya, Kamis, 24 Februari.

Ketua BKSAP DPR itu menilai diksi dan metafor yang digunakan Menag Yaqut tidak terkontrol. Apalagi, kata Fadli, penyampaian Menag Yaqut tersebut bisa menimbulkan anggapan bahwa suara toa masjid sama dengan gonggongan anjing.

“Diksi dan metafornya tak terkontrol, apalagi seolah membandingkan adzan atau pengajian dengan suara gonggongan anjing. Astagfirullah,” kata Fadli.

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran mengatur penggunaan Toa di masjid dan musala. Yaqut lalu membandingkan aturan tersebut dengan gonggongan anjing.

"Soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid-musala menggunakan Toa, tidak. Silakan. Karena itu syiar agama Islam," ujar Yaqut di Gedung Daerah Provinsi Riau, Rabu, 23 Februari. 

Meskipun begitu, ia minta volume suara Toa diatur maksimal 100 dB (desibel). Selain itu, waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.

"Tetapi ini harus diatur bagaimana volume speaker tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai gunakan speaker itu sebelum dan setelah azan. Tidak ada pelarangan," Yaqut menegaskan.

Yaqut menilai aturan dibuat hanya untuk menciptakan rasa harmonis di lingkungan masyarakat. Termasuk meningkatkan manfaat dan mengurangi yang tidak ada manfaatnya.

"Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan," katanya.

Yaqut menilai suara-suara Toa di masjid selama ini adalah bentuk syiar. Hanya, jika dinyalakan dalam waktu bersamaan, akan timbul gangguan.

"Karena kita tahu, misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100-200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka menyalakan Toa bersamaan di atas. Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya," katanya.

"Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim menghidupkan Toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng, itu rasanya bagaimana," kata Yaqut lagi.

Ia kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya suara gonggongan anjing.

"Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu," katanya.

Yaqut kemudian meminta agar suara Toa diatur waktunya. Jadi niat untuk syiar tidak menimbulkan gangguan masyarakat.

"Agar niat menggunakan speaker sebagai untuk sarana, melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan dan tidak mengganggu," kata Yaqut.