JEMBER - Penyidik Kepolisian Resor Jember masih menyelidiki peristiwa pada Minggu, 13 Februari dini hari, yang merenggut 11 nyawa setelah terseret arus laut di Pantai Payangan, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Kepolisian sudah memintai keterangan belasan saksi dan kemungkinan jumlahnya akan bertambah. Mereka yang telah dimintai keterangan oleh polisi adalah korban selamat, saksi yang mengetahui kejadian saat ritual di Pantai Payangan berlangsung, petugas yang menyelamatkan korban dan anggota polisi di lapangan.
Peristiwa naas yang menimpa rombongan Kelompok Tunggal Jati Nusantara berjumlah 24 orang, termasuk seorang sopir minibus Elf dengan nomor polisi DK7526VF, dua lansia dan satu balita yang berada di sekitar area parkir saat kejadian, masih memunculkan berbagai pertanyaan di masyarakat. Apa sebenarnya yang terjadi pada dini hari itu.
Kapolsek Ambulu AKP Ma'ruf mengatakan rombongan tersebut sebenarnya sudah diingatkan oleh warga sekitar yang juga merupakan pengelola wisata Bukit Seroja yang berada di sebelah utara Pantai Payangan agar tidak berada di tepi laut karena cuaca buruk.
"Rombongan Kelompok Tunggal Jati Nusantara mengabaikan peringatan itu, sehingga tetap melakukan ritual di tepi pantai. Menurut saksi mata, tiba-tiba ada ombak besar menghantam lokasi ritual, sehingga semua terseret ombak laut selatan," ujarnya dilansir Antara, Selasa, 15 Februari.
Ombak besar menerjang saat 20 orang dari kelompok tersebut yang sedang bergandengan tangan melakukan kegiatan ritual yang sudah berlangsung selama satu jam di tepi Pantai Payangan.
Dari keterangan Komandan Tim Basarnas Jember Jatmika, diketahui 11 korban ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di sekitar perairan Pantai Payangan, baik dalam kondisi mengambang atau berada di pantai. Sejumlah korban meninggal ditemukan tidak jauh dari lokasi mereka terseret arus laut pantai selatan.
Analisis gelombang dan pasang surut
Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan pada Badan Riset dan SDM, Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo S Pranowo mencoba melakukan analisa kondisi gelombang dan pasang surut di Pantai Payangan, saat kejadian nahas tersebut.
Kondisi elevasi muka laut Pantai Payangan menunjukkan kondisi perairan pada Minggu dini hari, pukul 00.00 WIB, hampir mendekati air surut, di mana posisi air surut diduga akan terjadi pada pukul 02.00 WIB. Secara teoritis, ketika air laut menuju surut, maka arus akan bergerak menjauhi pantai menuju ke lepas pantai.
Jika menilik kondisi pada saat mendekati surut tersebut, ia mengatakan terlihat elevasi muka laut diduga menjadi lebih maju ke arah laut, akibat air turun atau surut 0,4 hingga 0,6 meter dari garis pantai pada kondisi normal. Sehingga pada saat 20 orang melakukan prosesi ritual antara pukul 00.00 WIB hingga pukul 02.00 WIB, diduga mereka tidak sadar berdiri pada area surutan air yang kemungkinan besar saat kondisi normal adalah tempat gelombang pecah.
Pada kondisi siang hari, area gelombang pecah akan dapat mudah dikenali, yakni dari adanya banyak buih-buih putih yang dihasilkan setelah pecahnya gelombang menghantam lereng pantai. Namun ketika malam hari, dengan pencahayaan yang sangat terbatas, kemungkinan buih-buih putih tidak bisa mudah dilihat.
Analisis kondisi angin dan gelombang
Bagaimana peserta ritual yang berdiri di area gelombang pecah, namun dalam kondisi surut tersebut bisa terbawa arus?
Widodo yang juga merupakan anggota Advisory Board Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center itu menjelaskan kemungkinannya berdasarkan data model global sebaran angin pada Sabtu, 12 Februari, pukul 21.00 WIB hingga Minggu dini hari, pukul 00.00 WIB.
Saat itu angin bertiup dari arah utara atau timur laut menuju selatan atau barat laut, sehingga sepanjang waktu tersebut tidak ada gelombang laut yang signifikan yang menjalar dari arah laut menuju ke pantai. Tiupan angin dari arah utara atau timur laut tersebut justru menambah gaya seret terhadap muka laut yang sedang dalam proses menuju surut, sehingga arus yang dibangkitkan oleh kedua gaya tersebut diduga meningkatkan kecepatan arus yang meninggalkan Pantai Payangan.
Namun, ia mengatakan, pada pukul 01.00 WIB, diduga terjadi perubahan arah angin datang. Angin datang bertiup dari arah barat menuju ke Pantai Payangan.
Angin tersebut membangkitkan gelombang signifikan di laut atau lepas pantai hingga sekitar dua meter, lalu menjalar dengan sangat cepat menuju Pantai Payangan, kemudian tinggi gelombang diprediksi menjadi sekitar 1,8 meter ketika tiba-tiba menghantam para peserta yang sedang khusyuk melakukan ritual di area surutan pantai.
Sebagian peserta kemudian diduga terseret dengan cepat ke arah laut, menjauhi pantai oleh arus sisa gaya gelombang. Namun demikian, Widodo tidak menyebutkan secara eksplisit sebagai Rip Current karena biasanya itu terjadi justru saat kondisi laut tenang, namun arusnya dapat menyedot kaki.
Terkait dengan kasus di Payangan, ia belum berani memastikan apakah betul sesuai dengan kriteria Rip Current.
Letak geografis Pantai Payangan, menurut dia, berbeda dengan Pantai Parangtritis di Daerah Istimewa Yogyakarta atau Karangbolong di Kebumen, Jawa Tengah, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia (menghadap selatan). Sementara Pantai Payangan di Jember, Jawa Timur, menghadap ke barat.
Sehingga fetch atau area pembangkitan gelombang laut oleh gaya angin sedikit berbeda. Fetch di Parangtritis jauh lebih luas dan lepas ketimbang fetch untuk Payangan, lanjutnya.
Ia mengatakan kecepatan angin saat kejadian diperkirakan mencapai 8 hingga 9 kilometer (km) per jam. Jika dihitung secara manual, memang belum representatif, karena untuk menghasilkan tinggi gelombang antara 1,5 meter hingga dua meter diperlukan kecepatan angin sekitar 20 sampai dengan 25 km per jam.
Sehingga, menurut Widodo, kemungkinan ada faktor lain, tidak hanya adanya gelombang akibat angin (wind waves) yang menjalar menuju Pantai Payangan, namun mungkin juga ada kopling dari gelombang alun (swell), sehingga muka gelombang menjadi lebih tinggi.
Untuk memverifikasi hal tersebut, maka ia mengatakan diperlukan investasi waktu dan sumber daya untuk melakukan riset.
"Sebagaimana kita ketahui, tidak ada alat sensor pengukuran pasang surut atau gelombang apapun yang dipasang di Pantai Payangan. Jadi mungkin musibah tersebut bisa dijadikan lesson learned dan momen untuk melakukan riset terapan di lokasi yang lokal dan yang jelas sangat dibutuhkan oleh masyarakat," kata Widodo.
BACA JUGA:
Mitigasi
Peristiwa-peristiwa nahas di pesisir selatan Pulau Jawa bukan sekali atau dua kali terjadi. Langkah mitigasi sudah pasti harus menjadi prioritas pemerintah di tengah masih minimnya literasi masyarakat tentang kondisi alam di perairan selatan Jawa.
Sebenarnya, di Pantai Payangan sudah ada petugas penjaga pantai (coast guard), namun tentu mereka ada jam kerjanya, yakni jam kunjungan wisata, sedangkan pengunjung lain, seperti rombongan dari Kelompok Tunggal Jati Nusantara, dengan tujuan tertentu yang datang di tengah malam, tentu tidak terpantau.
Widodo menyarankan pemerintah daerah atau pengelola wisata melengkapi fasilitas di pantai, berupa layar televisi atau papan elektronik yang menampilkan prediksi atau ramalan elevasi muka laut akibat pasang surut (untuk tujuh hari ke depan) dan prediksi kondisi cuaca maritim (tiga sampai tujuh hari ke depan).
Informasi tersebut juga bisa disertai larangan-larangan untuk jam-jam tertentu yang mungkin berpotensi membahayakan wisatawan atau pengunjung yang datang dalam 24 jam di lokasi tersebut. Untuk itu, pemerintah daerah atau pengelola wisata bisa menjalin kerja sama dengan Pusat Meteorologi Maritim BMKG dan Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Atau, pada malam hari, lokasi-lokasi pantai yang rawan di pesisir selatan Jawa dipasangi rantai atau pembatas sebagai garis batas aman. Saat siang hari, rantai atau pembatas itu tentu bisa dicopot ketika kondisi perairan aman untuk dikunjungi.
Bagi mereka yang terbukti nekat melewati batas tersebut dan akhirnya mengakibatkan bencana, terlebih korban jiwa, tentu harus menerima sanksi tegas.