Meninjau Implementasi Kebijakan Pendaftaran Tanah di Indonesia
Presiden Jokowi bagikan sertifikat tanah (Sumber: Seskab.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Pendaftaran atau sertifikasi tanah jadi salah satu fokus kebijakan nasional saat ini. Namun hasil penelitian Sajogyo Institut menemukan ada pergeseran kebijakan terkait pendaftaran tanah yang saat ini digalakkan pemerintah.

Sajogyo Institut, dalam penelitian tersebut menyoroti perubahan implementasi kebijakan soal pendaftaran tanah selama 1960-2021. Dalam kurun tahun itu terjadi perubahan kebijakan.

Kewajiban pendaftaran tanah yang seharusnya jadi tanggung jawab pemerintah, belakangan bergeser bebannya. Kewajiban pendaftaran tanah jadi melekat pada pemilik tanah. Menurut pegiat Sajogyo Institute, Rahma Amin, ada pelanggaran Undang-Undang (UU) di sini.

Menurut Pasal 19 UU Pokok Agraria (UUPA) dijelaskan kewajiban sertifikasi tanah merupakan kewajiban pemerintah. Bukan masyarakat. Penelitian ini merinci pergeseran dan perubahan implementasi dari waktu ke waktu.

Menelusuri berubahnya kebijakan sertifikasi tanah

Hasil penelitian Sajogyo Institut mendapati masa Orde Lama --yang berlangsung selama 1959-1965-- sebagai era paling penting bagi tonggak pendaftaran tanah di Indonesia. Pada periode itu UUPA Nomor 5 Tahun 1965 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 diterbitkan, yang secara eksplisit menyebut pendaftaran tanah sebagai hal wajib.

Era ini juga biasa disebut tonggak awal kodifikasi hukum pelaksanaan pendaftaran tanah. Pasal 19 UUPA jadi awal dari amanat UU bahwa pendaftaran tanah adalah salah satu prioritas penting dalam penataan pertanahan.

Secara konkret, UUPA menjelaskan pendaftaran tanah sebagai kewajiban yang harus dilakukan negara untuk menjamin kepastian hukum kepemilikan tanah dalam Pasal 19. Sementara itu kewajiban bagi pemegang hak secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 mengenai hak milik, Pasal 32 mengenai hak guna usaha dan Pasal 38 mengenai hak guna bangunan.

Era selanjutnya adalah Orde Baru, yang merujuk pada era pemerintahan Soeharto. Orde Baru merupakan awal terdegradasinya kegiatan pendaftaran tanah.

"Hal ini dapat dicermati dari Departemen Agraria yang diturunkan levelnya menjadi direktorat jenderal di Kementerian Dalam Negeri. Sementara, urusan pendaftaran tanah berada di bawah Direktorat Pendaftaran Tanah," tutur pegiat Sajogyo Institute Rahma Amin.

Kegiatan pendaftaran tanah pada periode ini diselenggarakan sebagai penyempurnaan dari lambatnya capaian pendaftaran tanah sebelumnya. Ini juga jadi upaya memberikan kepastian dan perlindungan hukum pada pemegang hak dan menyediakan informasi kepada pihak yang berkepentingan.

Setelah Soeharto lengser, kita memasuki era reformasi. Era ini dimulai pada tahun 1998 setelah pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 dan digantikan BJ Habibie, Wakil Presiden saat itu.

Era reformasi ditandai dengan bergantinya beberapa presiden, mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Dari kelima presiden itu, tak ada perubahan mendasar nan signifikan terkait kebijakan pendaftaran tanah.

Pada era Habibie, tidak banyak kebijakan yang dimunculkan terkait pendaftaran tanah. Pada masa ini, pendaftaran tanah diselenggarakan dalam bentuk Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Salah satu warisan penting dari periode Habibie adalah terbitnya TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. TAP MPR inilah yang jadi pendorong munculnya IP4T sebagai salah satu instrumen pendataan tanah.

IP4T secara sistematis dilakukan pada satu desa sebagai informasi untuk perencanaan kegiatan pertanahan dan perumusan kebijakan teknis. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, pendaftaran tanah dilakukan untuk mendukung peningkatan kinerja pelayanan pertanahan demi meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui percepatan dan penyederhanaan pelayananan pertanahan.

Pegiat Sajogyo Institute, Rahma Amin (Sumber: Istimewa)

Lingkup pendaftaran tanah adalah sebagai bagian dari dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, hal krusial untuk mendukung peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan. LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah) merupakan salah satu pennggalan kebijakan pertanahan di era Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada era Joko Widodo, pendaftaran tanah dilakukan untuk mewujudkan pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum Hak Atas Tanah masyarakat berlandaskan asas sederhana, cepat, lancar, aman, adil, merata, dan terbuka serta akuntabel. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta ekonomi negara.

Selain itu kebijakan pertanahan era Jokowi juga dilakukan dengan tujuan mengurangi dan mencegah sengketa dan konflik pertanahan. Lingkup pendaftaran tanah adalah pendaftaran tanah dalam skema pendaftaran sistematik lengkap.

Skema yang dimaksud mencakup perencanaan, penetapan lokasi, persiapan, pembentukan, dan penetapan panitia ajudikasi PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) serta satuan tugas, penyuluhan, pengumpulan data fisik juga pengumpulan data yuridis.

Adapun penelitian data yuridis dilakukan untuk pembuktian hak, pengumuman data fisik, data yuridis, pengesahan, penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian hak, pembukuan hak, penerbitan sertifikat hak atas tanah, pendokumentasian dan penyerahan hasil kegiatan serta pelaporan. Pada era Jokowi inilah percepatan pendaftaran tanah jadi agenda prioritas dalam skema PTSL yang menggantikan PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria).

Pergeseran komitmen dari pemerintah

Presiden Jokowi bagikan sertifikat tanah (Sumber:Seskab.go.id)

Dari paparan di atas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendaftaran tanah merupakan proses yang terpisah dari reforma agraria. Situasi ini terjadi dalam perjalanan implementasi kebijakan pendaftaran tanah di Indonesia, di mana kedudukan reforma agraria sebagai prioritas kebijakan mengalami pergeseran komitmen dari pemerintah.

Pendaftaran tanah sebagai instrumen landreform berakhir seiring surutnya program landreform di era Orde Baru. Pendaftaran tanah yang semula menjadi bagian dari politik agraria nasional mengalami proses degradasi sebagai tata kelola teknis administratif.

Hal ini menunjukkan bahwa pendaftaran tanah kehilangan perannya untuk memeriksa ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Pendaftaran tanah telah berubah sebagai tujuan akhir dari penataan pertanahan.

Dalam konteks inilah harmoni penataan pertanahan yang bermuara pada sebesar-besar kemakmuran rakyat harus kembali dipertanyakan. Pendaftaran tanah pada era Soekarno sejalan dengan mazhab struktur agraria.

Sementara itu, selepas Soekarno, pendaftaran tanah lebih dekat dengan mazhab property right. Dan karena mazhab property right yang dianut, maka yang jadi target adalah wiayah ‘clean and clear’ dan tidak menyasar ketimpangan seperti yang dilakukan pada masa Soekarno.

Kementerian ATR/BPN menengarai kegentingan persoalan agraria di Indonesia adalah karena belum terdaftarnya tanah. Ini berakibat pada ketidakpastian hak atas tanah yang dapat melahirkan konflik.

Kebijakan reforma agraria ideal seharusnya dirancang untuk menyelesaikan masalah agraria yang menyebabkan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia. Persepsi permasalahan agraria ini berbeda dengan persepsi pemerintah di mana permasalahan agraria terletak pada ketidakpastian hukum hak atas tanah sehingga diperlukan pendaftaran tanah (sertifikasi).

Kebijakan pendaftaran tanah di Indonesia --yang semula lahir untuk mendorong terlaksananya landreform-- dalam perkembangannya lebih diarahkan untuk menjadi instrumen penyelesaian permasalahan agraria, yang salah satunya diarahkan untuk penyelesaian berbagai konflik agraria akibat ketidakpastian hukum hak atas tanah.

Data konflik agraria berulang kali dimunculkan dalam latar belakang kebijakan untuk kembali menegaskan banyaknya konflik agraria menunjukkan bahwa administrasi pertanahan di Indonesia membutuhkan perbaikan agar dapat memberikan kepastian hukum hak atas tanah.

Pada akhirnya pendaftaran tanah lebih dipahami sebagai bagian dari administrasi pertanahan. Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah berupa sertifikat tanah. Implementasi dari kebijakan pendaftaran tanah lebih lekat dengan apa yang kemudian disebut legalisasi aset atau penyertifikatan tanah.

Untuk membangun suatu sistem administrasi pertanahan sebagai bagian penting pembangunan dengan menjadikan tanah sebagai modalitas penyejahteraan rakyat harus melampaui keterbatasan-keterbatasan yang selama ini ada di dalam sistem administrasi pertanahan.

Administrasi pertanahan yang ada sekarang ini masih terjebak pada legalisasi aset, implementasi yang teknis-birokratis dan belum mampu mengurai problem agraria, apalagi jadi alat deteksi dini terhadap persoalan pertanahan.