Bagikan:

JAKARTA - Manager Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono mengatakan pemerintah pusat dan daerah perlu mensinkronkan kebijakan mengatasi dan menanggulangi COVID-19 agar tidak saling tumpang tindih.

"Jika ada inisiatif dari pemerintah daerah perlu dikelola oleh pemerintah pusat agar tidak kontraproduktif. Oleh karena itu perlu disinkronisasi hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi pandemi," kata Arfianto dalam Rilis Indonesia 2021 yang dipantau di Jakarta, dilansir Antara, Kamis, 25 November.

Untuk itu, ia merekomendasikan Kementerian Dalam Negeri membangun pemerintahan  dengan rmodel hirarki dimana peraturan daerah sejalan dengan peraturan pemerintah pusat, termasuk yang berkaitan dengan pengendalian COVID-19.

"Pola hierarki yang diperlukan adalah yang memberikan keleluasaan daerah untuk menerapkan kebijakan dan program untuk menghadapi penanganan COVID-19. Suatu kebijakan yang memberikan kepastian dan keterukuran, serta jaminan pada daerah," ucapnya.

Sementara itu, sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah melalui sanksi apabila terdapat kebijakan pemda yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat, perlu diterapkan secara berhati-hati.

"Pemberian sanksi kepada kepala daerah dikhawatirkan akan mendorong sentralisasi kekuasaan dalam hubungan pusat dan daerah," ucapnya.

Ia mengatakan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tidak sinkron di tengah COVID-19 antara lain terkait karantina wilayah dan bantuan sosial. Dimana sejak awal pandemi merebak, aturan karantina wilayah yang dikeluarkan pemerintah daerah bisa berbeda dengan yang dikeluarkan pemerintah pusat.

"Beberapa saat kemarin menjelang PON, salah satu pemda di Papua sempat mengusulkan melakukan karantina wilayah untuk mengatasi penyebaran COVID-19, tapi ini bertabrakan juga dengan beberapa kebijakan yang ada," katanya.

Kebijakan terkait bantuan sosial (bansos) pemerintah pusat dan daerah juga dinilai tumpang tindih karena data penerima yang kurang terkoordinasi.

"Terdapat empat regulasi yang menjadi rujukan pada pendataan dan penyaluran bansos selama COVID-19, dimana regulasi tersebut merupakan regulasi untuk situasi non bencana. Dengan demikian tidak mengherankan jika terjadi perbedaan data penerima bansos antara pemerintah pusat dan daerah," imbuhnya.