KOTA BATU - Wilayah Kota Batu yang merupakan salah satu kota wisata di wilayah Jawa Timur, baru saja mulai merangkak bangkit usai diterpa dampak pandemi COVID-19.
Perlahan, daerah tujuan wisata yang ada di wilayah tersebut mulai kembali diizinkan beroperasi seiring dengan ditetapkannya Kota Batu untuk penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 2.
Jalan-jalan utama di kota wisata itu, dalam beberapa waktu terakhir khususnya pada akhir pekan mulai kembali dipadati oleh kendaraan yang mengantarkan wisatawan. Hotel, restoran dan tempat wisata juga mulai ramai dipadati masyarakat dari berbagai wilayah.
Di tengah kondisi yang baru saja mulai bangkit akibat dampak pandemi COVID-19, Kota Batu dihantam bencana banjir bandang yang terjadi pada Kamis, 4 November. Banjir bandang tersebut, meskipun tidak melumpuhkan sektor pariwisata, namun berdampak besar pada wilayah itu.
Tujuh Korban Jiwa
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu mencatat, hingga laporan terakhir pada Minggu (7/11) sebanyak 89 keluarga terdampak bencana banjir bandang yang menelan tujuh korban jiwa tersebut.
Selain itu, sebanyak 35 rumah yang ada pada enam titik di Kota Batu dilaporkan mengalami kerusakan, dan 33 lainnya terendam lumpur. Sebanyak 73 sepeda motor dan tujuh mobil juga rusak dan ratusan ekor ternak mati.
Ada enam wilayah terdampak banjir bandang yakni, Desa Sidomulyo, Desa Bulukerto, Desa Sumber Brantas, Desa Bumiaji, Desa Tulungrejo dan Desa Punten. Selain ada korban meninggal dunia, juga ada enam korban selamat usai terseret arus banjir bandang.
Secara keseluruhan ada 13 orang yang terseret arus banjir bandang tersebut. Namun, kejadian itu juga membahayakan puluhan atau ratusan nyawa warga yang pada saat kejadian bencana berada di sekitar lokasi.
Salah seorang saksi mata yang merupakan warga Dusun Sambong, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Sri Kusumastutik (43) mengatakan banjir bandang datang tiba-tiba pada saat terjadi hujan deras.
Air Berwarna Hitam
Tutik, sapaan akrabnya, mengatakan, dua orang anaknya Mutia Artahira (5) dan Rehana Chalya Artanti (11) melihat luapan air yang berwarna hitam, dan dipenuhi dengan puing seperti kayu-kayu yang berukuran besar. Ia bersama dua orang anaknya, saat itu berada di dalam rumah.
"Saya dan anak-anak saya ada di dalam rumah. Anak saya melihat air berwarna hitam, dan berteriak. Mama! Ada air hitam!," katanya.
Dalam kondisi panik, Tutik bersama kedua orang anaknya berusaha untuk menyelamatkan diri. Pada saat akan keluar rumah, air dan material banjir bandang sudah menggenangi bagian depan rumah. Rumah Tutik, berada tidak jauh dari aliran Kali Sambong.
Ibu dari Tutik, Jumini (60), saat itu berada di luar rumah dan berteriak kepada Tutik agar segera keluar rumah dan menyelamatkan diri. Pada akhirnya, Tutik bersama kedua anaknya berhasil meninggalkan rumah dalam keadaan selamat.
"Kami berusaha lari ke rumah sebelah. Keadaan air sudah tinggi, dan air hitam itu berputar-putar. Saya berteriak minta tolong, dan kemudian ada seseorang berbaju biru menolong saya," ujarnya.
Rumah Tutik berada tidak jauh dari Kali Sambong, hanya berjarak beberapa meter saja. Rumah tetangga Tutik, Sarif dan Wiji dihempas banjir bandang hingga rata. Wiji merupakan korban meninggal dunia pertama yang berhasil ditemukan oleh tim penanganan bencana.
Sugiyono (48), saksi mata lain dalam kejadian bencana banjir bandang tersebut bercerita, ini merupakan kejadian banjir besar pertama yang dialaminya. Pada kondisi sebelumnya, memang pernah terjadi banjir pada saat hujan deras, namun tidak menyebabkan kerusakan yang dahsyat.
Sugiyono beruntung masih bisa diselamatkan usai tertimpa bangunan rumah miliknya. Rumah Sugiyono roboh akibat derasnya aliran banjir bandang yang terjadi kurang lebih pada pukul 15.00 WIB tersebut.
"Saya di dalam rumah, tertimpa bangunan rumah. Tidak bisa lari. Saya panik, anak dan istri saya menangis. Saya minta mereka untuk diam dan segera mengangkat reruntuhan yang menimpa saya. Alhamdulillah kami bertiga selamat," katanya.
BACA JUGA:
Penyebab Banjir Bandang
Banjir bandang yang terjadi di wilayah Kota Batu, menyebabkan aliran Sungai Brantas yang ada di wilayah Kota Malang, juga terdampak. Dampak yang timbul akibat bencana banjir bandang tersebut cukup besar, ratusan warga Kota Malang terpaksa harus mengungsi.
Berdasarkan data BPBD Kota Malang, dampak banjir bandang menyebabkan kurang lebih sebanyak ratusan rumah mengalami kerusakan. Tercatat, 61 rumah di Jatimulyo rusak, 51 rumah di Kampung Putih rusak, 30 rumah di Samaan, dan dua rumah di Kota Lama.
Usai terjadinya peristiwa banjir bandang di Kota Batu, pada Sabtu, 6 November Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko melakukan pemantauan udara pada bagian hulu dan hilir dan mendapatkan sejumlah kesimpulan.
Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyatakan bahwa salah satu penyebab banjir bandang di Kota Batu dan berdampak ke wilayah Kota Malang adalah hancurnya bendung alam akibat debit air yang tinggi.
Dengan intensitas hujan yang tinggi, debit air yang ada di bagian hulu menjadi lebih besar. Air tersebut tertahan untuk sementara waktu. Namun, pada saat air melimpah bendung alam tersebut hancur dan mengalir deras ke bawah beserta sejumlah material berbahaya.
Bendung alam yang ada di wilayah hulu Kota Batu terbentuk dari longsor-longsor kecil dari sisi tebing yang tidak dilindungi oleh tanaman atau vegetasi yang memiliki akar kuat. Hal itu diperparah dengan banyaknya perkebunan semusim pada lereng tebing sungai.
Perkebunan semusim tersebut, berpotensi longsor pada saat terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Perkebunan semusim tersebut, dengan mudah bisa mengalami longsor pada saat curah hujan tinggi dan membahayakan keselamatan warga yang berada di sepanjang aliran sungai.
Tanaman semusim yang ada di lereng tebing, ketika hujan turun akan seperti meleleh karena akar sayuran, atau akar dari tanaman semusim tidak mengikat tanah.
Lembaga Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia menyatakan bahwa banjir bandang yang terjadi di wilayah Kota Batu, diduga kuat diakibatkan adanya alih fungsi lahan di hutan lindung.
Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahid menyatakan di kawasan hutan lindung yang berada di lereng Gunung Arjuna banyak beralih menjadi kawasan pertanian sayur. Hutan lindung yang berfungsi untuk mencegah tanah longsor dan menjaga ketersediaan air, beralih fungsi.
"Harus ada rehabilitasi atau pemulihan dengan menanam pohon, bukan sayur atau tanaman porang," kata Rosek.
Selain itu, banjir bandang juga dipicu adanya kebakaran yang terjadi di lereng Gunung Arjuno pada 2019. Kebakaran tersebut menyebabkan banyak pohon tumbang yang membentuk bendungan alami dan mengakibatkan proses aliran air terhambat.
Bendungan alami yang dibentuk dari material longsor dan pohon tumbang akibat kebakaran lahan tersebut, pada akhirnya jebol akibat intensitas hujan yang tinggi. Bendungan alami itu, tidak bisa menahan luapan air yang besar.
Rekomendasi BNPB
Ada sejumlah rekomendasi penting yang disampaikan oleh BNPB dalam upaya untuk meminimalisasi risiko terjadinya bencana banjir bandang, diantaranya adalah perlu dilakukan susur sungai yang bertujuan untuk melihat potensi sumbatan dan bendung alam.
Pada operasi susur sungai tersebut, harus dilakukan instansi berpengalaman, sekaligus juga akan dilakukan pembersihan sisa-sisa pohon tumbang agar tidak ada material berbahaya dan dapat kembali menyebabkan banjir bandang di wilayah tersebut.
Kemudian, juga perlu dilakukan penanaman pohon keras berakar kuat di pinggir atas lereng tebing, terutama di pinggir kawasan perkebunan semusim dan pada kawasan lahan kebun semusim yang minim pohon dengan tegakan kuat.
Selain itu juga menghindari pemanfaatan lereng jalur lembah sungai untuk pemanfaatan kebun semusim, dan penegakan aturan di sepanjang badan sungai. Serta melakukan penanaman vetiver pada lereng terjal dengan tingkat kemiringan lebih dari 30 derajat.
Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko menyatakan seluruh rekomendasi yang diberikan oleh BNPB akan menjadi perhatian penting. Pemerintah Kota batu akan segera mempersiapkan tempat aman untuk warga, dan menanam vetiver serta pohon dengan akar kuat.
Untuk penanaman tegakan, dan vetiver itu, Pemkot Batu akan melakukan komunikasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian. Semoga semua lahan dengan kemiringan lebih dari 30 derajat dan daerah rawan longsor dapat segera direhabilitasi dengan tanaman penutup berakar kuat.
Ini menjadi pelajaran bahwa semua kegiatan usaha harus memperhatikan risiko bencana termasuk juga usaha pertanian di perbukitan yang menjadi daerah tangkapan air.
Selain itu peta rawan longsor harus dibuat lebih detil dengan memperhatikan jalur-jalur air dan potensi genangan air di wilayah perbukitan yang bisa memicu longsoran.