JAKARTA - Dugaan tindak pidana penggelapan yang melibatkan personil Energy Equity Epic (EEES), termasuk Kenny Wisha Sonda (KWS) sebagai Legal and Commercial Counsel dari EEES, suatu perusahaan asing (Australia) yang berkegiatan usaha dalam bidang hulu minyak dan gas bumi dan anak perusahaan dari Energy World Corporation Ltd, yang terdaftar di bursa saham Australia (ASX), terus berkembang.
KWS diduga terlibat dalam tindakan yang merugikan EMA, suatu perusahaan swasta nasional (Indonesia) yang juga bergerak di bidang hulu minyak dan gas bumi, terkait pengelolaan pendapatan yang timbul dari Wilayah Kerja minyak dan gas bumi di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (WK Sengkang). Kasus ini juga menyeret beberapa petinggi EEES lainnya, termasuk Direktur, yang merupakan warga negara Inggris, dan General Manager perusahaan tersebut.
Kerja sama antara EEES dan EMA dimulai pada 29 November 2018 melalui penandatanganan Sale and Purchase Agreement (SPA), yang mencakup jual, beli, dan pengalihan 49% Partisipasi Interes (PI) di WK Sengkang dari EEES kepada EMA, di dalamnya juga diatur bahwa EMA setuju agar “pendapatan yang diterimanya” dapat digunakan untuk membayar pinjaman EEES kepada krediturnya sampai dengan pinjaman tersebut lunas, secara proporsional dengan kepemilikan PI milik EMA (49%), yaitu terbatas pada sekitar (i) USD 32 juta untuk pokok pinjaman dan sekitar (ii) USD 1,4 juta untuk bunga.
اقرأ أيضا:
"Setelah kesepakatan tersebut, kami menemukan terdapat ketidaksesuaian dalam pengelolaan dana, terutama terkait penggunaan pendapatan EMA yang diduga tidak sesuai dengan perjanjian awal. Pendapatan EMA seharusnya digunakan untuk kepentingan yang telah disetujui bersama, misalnya membayar biaya operasional WK Sengkang berikut tanggung jawab pajak yang timbul dari perolehan pendapatan dari penjualan gas. Namun demikian, pada kenyataannya, dana tersebut digunakan tanpa persetujuan EMA untuk melakukan pembayaran-pembayaran yang tidak pernah disepakati, dan pihak EEES tidak tertib dalam memenuhi kewajiban pajak yang dimaksud.,” ungkap tim kuasa hukum EMA, Arsa Mufti Yogyandi, dalam keterangan tertulisnya, Senin, (7/10/2024).
“Hal ini tentunya merupakan dampak dari fakta bahwa EMA tidak pernah mendapatkan distribusi dari bagian pendapatan tersebut—padahal diwajibkan untuk didistribusikan. Terlebih lagi, untuk biaya-biaya yang sudah disetujui, seperti membayar kembali pinjaman, EEES telah menggunakan pendapatan EMA jauh melewati batas yang telah disepakati. Pihak EEES tidak pernah secara langsung mendistribusikan bagian pendapatan milik EMA, dan memanfaatkannya seolah-olah merupakan miliknya sendiri.,” imbuhnya.
Arsa juga menjelaskan bahwa selain kesepakatan pengalihan 49% PI, EEES menguasai pendapatan yang berasal dari 1% PI tambahan yang sudah diakui merupakan bagian dari hak, kewajiban dan kepentingan EMA. Namun, pendapatan ini diduga digunakan untuk biaya-biaya yang tidak sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak.
Berdasarkan proses persidangan dan berbagai korespondensi, diketahui bahwa argumentasi KWS, dan pihak EEES pada umumnya, terkait tidak didistribusikan pendapatan EMA oleh EEES, antara lain, karena harga pembelian 49% partisipasi interes hanya sebesar USD 2 (dua dolar Amerika Serikat). Padahal faktanya, EMA sendiri telah mengeluarkan biaya yang cukup besar demi perpanjangan Kontrak Kerja Sama EEES dengan Pemerintah RI, termasuk penggunaan pendapatan EMA untuk pembayaran utang EEES kepada para krediturnya yang jumlahnya lebih dari USD 30 juta.
“Dari korespondensi yang kami terima dari EEES, selalu diutarakan bahwa EMA memasuki SPA dalam keadaan keuangan yang tidak memadai, sehingga purchase price hanya sebesar USD 2 dan pendapatan dari WK Sengkang itu tidak harus didistribusikan oleh EEES kepada EMA karena pendapatan tersebut harus digunakan untuk membayar utang EEES. Padahal, ketentuan terkait distribusi sudah diatur secara jelas di dalam perjanjian. Terlebih lagi, EMA sudah membayar, antara lain, biaya signature bonus kepada Pemerintah RI sebesar USD 6.000.000 dan biaya pengadaan jaminan pelaksanaan sebesar sekitar Rp 23 Miliar, termasuk penggunaan pendapatan EMA untuk pembayaran utang EEES kepada krediturnya,” ujar Arsa.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)