Ketua LSF Indonesia Rommy Fibri Jelaskan Batas Film Masuk Kategori Porno, Pengecualian untuk Kasus Khusus
JAKARTA - Pada Senin, 11 September lalu, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simajuntak mengumumkan telah melakukan penangkapan terhadap sebuah rumah produksi film di Indonesia yang memproduksi konten dewasa atau porno. Dalam kasus ini dua selebgram yaitu Siskaeee dan Virly.
Melihat hal ini, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Rommy Fibri Hardiyanto menjelaskan mengenai peraturan dan batasan-batasan film porno yang ada di Indonesia. Secara garis besarnya, film porno di Indonesia itu tidak ada dan hal ini sudah jelas dilarang oleh pemerintah Indonesia berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
"Kalau menurut undang-undang pornografi dan pornoaksi tahun 2008 ya nggak ada, karena kalau menampilkan unsur ketelanjangan dalam konteks publik atau umum maka akan terkena undang-undang itu," ujar Rommy Fibri di Kantor LSF, Senayan, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Jika mengacu pada perundang-undangan tersebut, maka film yang dibintangi Sikaeee, Virly, dan kawan-kawannya seperti Kramat Tunggak jelas sudah melanggar batas. Adegan yang mengacu pada persenggamaan jelas terlihat. Namun, Rommy mengatakan bila undang-undang ini tidak berlaku bagi film-film yang memiliki 2 alasan yaitu alasan edukasi dan alasan film untuk ditampilkan di festival-festival film.
"Nah kalau itu beda lagi. Kalau hal yang sifatnya edukasi untuk pendidikan, ya tentu boleh dong untuk kepentingan pengajaran atau pendidikan, itu kan memang dia harus menunjukkan misalnya tentang reproduksi. Ya masa nggak ada gambarnya, atau di blur gambarnya itu kan pasti akan aneh yang kedua yang sifatnya festival," lanjut Rommy.
"Jadi kalau festival itu, LSF menggolongkan film-film mereka itu film-film edukasi. Maka kalau semua film yang festival itu, sifatnya dia bisa ditayangkan secara utuh karena kan memang filmnya juga dari luar kan, yang mengirim maupun yang menerima di sini bukan orang yang punya otoritas terhadap film itu. Beda dengan importir atau yang punya nilai tawar tapi kalau mereka kan enggak. Nah kalau sifatnya festival itu digolongkan juga dengan edukasi maka masih memungkinkan," sambungnya.
Lalu bagaimana mengkategorikan film sebagai film porno? Menurut Rommy, film yang masuk dalam kategori film porno ialah film yang secara jelas dan terbuka memperlihatkan adegan persenggamaan, ketelanjangan, dan aksi seks yang menyimpang dari awal hingga akhir film.
"Kalau memang dia sepanjang adegan film itu menampilkan adegan-adegan yang memang isinya pornografi maupun porno aksi adegan dengan persenggamaan, adegan-adegan yang memang menampilkan unsur ketelanjangan secara utuh maupun menyimpang, yang memang itu yang ditawarkan dalam film dan sepanjang film isinya itu yaitu yang dimaksud film porno kan pengertiannya begitu," tutur Rommy.
"Kalau ada film-film, film drama, film apapun yang temanya, tapi ada adegan ranjang misalnya kemudian adegan ranjangnya, kan tidak harus telanjang, kalau itu pertunjukan untuk publik ya di bioskop misalnya sehingga itu kita tidak akan menganggap ini film porno," jelasnya.
Bagi Rommy, baik sutradara dan produser sudah cukup cerdik dalam memproduksi film yang mengandung adegan-adegan dewasa. Hal ini biasanya dilakukan oleh sutradara maupun produser di luar negeri yang di mana mereka membuat adegan itu tidak terlihat terlalu mencolok namun lebih kepada keindahan.
"Sutradara dan produser itu kan makin pinter, khususnya yang produser dan sutradara asing kan gambarnya tuh dibikin seindah mungkin sedemikian indahnya sehingga tidak terkesan ini porno gitu. Misalnya terjadi adegan ranjang atau begini, ada adegan percintaan tapi ditutup gorden, kelambu putih, semi transparan gitu tapi ada yang terbuka jadi si kamera ini mengambilnya dengan cara melingkar ya kan pen kanan, pen kiri, melingkar, pas adegan tertentu tertutup kelambu atau gorden transparan tadi sehingga tidak tampak alat kelamin apapun," kata Rommy
"Tapi ketika gordennya pas kebuka itu tampaknya dari belakang jadi cuman kelihatan rambut, geser lagi nggak kelihatan samping atau depan tapi tertutup gorden lagi atau kelambu lagi, ini kan artistik, bukan pornografi yang dimunculkan," ungkapnya.
Selanjutnya, Rommy juga menjelaskan terkait penggolongan usia menonton film di masyarakat Indonesia seperti 17+ atau 21+ tidak memiliki hubungan dengan unsur pornografi di dalam filmnya. Ia mengatakan bila hal ini berhubungan dengan alur cerita yang dibangun di dalam film yang akan ditonton oleh penonton di bioskop.
"Jadi, semua umur, 13 (tahun), 17 (tahun), 21 (tahun) tetap berikan aturan kalau soal pornografi tetap terlihat pornografi, baik Permendikbud nomor 14 tahun 2019 yang ada di situ aspek pornografi, juga ada pasal tentang menampakkan untuk keterangan termasuk undang-undang pornografi tahun 2008 itu sama. Jadi jangan dianggap aku 21 (tahun), ini pasti ada ketelanjangannya, yang nggak gitu," imbuh Rommy.
"Jadi semua umur 13 (tahun), 17 (tahun), 21 (tahun), itu menunjukkan pada satu alurmenunju, ini alur ceritanya rumit memang untuk orang yang dewasa, matang, nih alur ceritanya apa misalnya ini orang tentang perkawinan kemudian berselingkuhan, tukar pasangan segala macam, kemudian ada adegan sadisnya ada itu ya pilihannya tinggal 17 (tahun) atau 21 (tahun)," jelasnya.
Di luar negeri, film dengan kandungan adegan dewasa yang cukup banyak dan jelas diperlihatkan justru memiliki peminat penonton yang banyak bahkan bisa masuk sebagai film favorit. Melihat hal ini, Rommy mencoba memberikan sudut pandangnya, di mana ia berpendapat bila untuk mendapatkan rating film, di Indonesia tidak perlu memiliki film porno.
Baginya peran masyarakat dalam menonton film yang ada menjadi salah satu hal yang mempengaruhi sebuah film atau genre film akan terus menerus ada bahkan mengantarkan film tersebut masuk dalam jajaran film favorit.
اقرأ أيضا:
"Kalau saya sih, masyarakat itu menonton film tidak melulu mau menonton pornografinya. kalau memang orang mau nonton pornografinya, mau lihat yang porno, ya nggak usah pakai aturan dia akan cari yang, nggak usah ada film dia akan lihat. Kalau memang pikirannya hanya soal pornonya, tapi ngomong film, ini kan tidak melulu soal pornografi, film ini kan produk budaya, dengan menggunakan pendekatan sinematografi nah ketika budaya ini menjadi potret dari masyarakat," tutur Rommy.
"Yang ada di film itu potret kita, kenapa film horor masih marak? Karena masyarakatnya. Buktinya banyak yang menonton, coba kalau masyarakatnya enggak nonton, yang bikin film pasti kan takut kalau dia bikin film horor nanti nggak laku, enggak ada yang nonton, nanti masyarakat nggak suka, tapi ketika mungkin film horor yang satu laku yang satu lagi laku, satu lagi laku, yang satu lagi banyak yang nonton, malah box office ya semua bikin film horor. Tapi jangan kamu balik ya tapi, satu bikin film porno, lalu laku, kemudian yang lain bikin film porno, nggak ada film porno di Indonesia. Memang karena undang-undang pornografi mengatur soal itu, gitu loh," tutup Rommy.