Menjaga Badui adalah Melestarikan Kemurnian: Sebuah Surat yang Harus Didengar Presiden Jokowi

JAKARTA - Di tengah menggebunya pemerintah mengembalikan geliat pariwisata, sepucuk surat dari tetua adat Badui masuk ke Istana Negara. Dalam surat yang ditujukan langsung untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), para tetua adat yang terdiri dari Jaro Saidi, Jaro Aja, dan Jaro Madali meminta pemerintah menghapus wilayah Badui di Kabupaten Lebak, Banten dari peta wisata. Promosi wisata pemerintah mulai berlebihan bagi Badui.

Heru Nugroho, pemegang mandat surat menjelaskan, secara umum orang Badui tak bermasalah dengan kunjungan wisatawan. Mereka selalu menerima wisatawan sebagai bentuk jalinan persaudaraan. Namun, promosi gencar pemerintah telah mengganggu kehidupan orang Badui. Wisatawan memenuhi daerah tinggal mereka.

“Kami mewakili lembaga adat memohon bantuan pada pemerintah melalui Presiden,” kata Heru, dikutip Kompas.com

Ada catatan yang dipaparkan Heru terkait gangguan eksistensi kehidupan orang Badui. Pertama adalah sampah --terutama plastik-- yang ditinggalkan wisatawan. Lainnya adalah pelanggaran aturan adat yang kerap dilakukan wisatawan. Dan yang peling menggugah adalah perasaan risih orang Badui jadi tontonan wisatawan.

Menurut Heru, banyak di antara wisatawan justru menimbulkan banyak masalah bagi eksistensi orang Badui. "Membanjirnya wisatawan yang tujuannya enggak jelas. Cuma nontonin orang Badui. Sebenernya membuat mereka risih. Belum lagi masalah sampah dan lain-lain," katanya.

Alasan lain, para tetua juga khawatir kedatangan pelancong --dengan ragam latarbelakang-- yang masif dapat menghambat penanaman nilai leluhur pada generasi muda Badui. “Dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai adat pada generasi berikutnya jika tidak dilakukan langkah-langkah antisipatif sejak dini,” tutur Heru.

Pemerintah harus mendengar

Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mendesak pemerintah untuk mendengarkan keluhan orang Badui. Aksi wisatawan yang kerap meninggalkan sampah adalah penghinaan. Badui, di mata Tubagus adalah sebagian kecil dari kelompok masyarakat yang masih bertahan dalam kehidupan harmoni bersama alam.

“Ini harus menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat, terutama di wilayah yang menjadi kunjungan wisata. Kami justru berpandangan bahwa masyarakat Badui adalah antitesis dari ekploitasi sumber daya alam yang masif. Mereka (Badui) tampil berbeda dengan berani merawat dan menjaga alam. Atas dasar itu, orang Badui pada dasarnya lebih maju dari pada peradabaan yang ada sekarang,” kata Tubagus, dihubungi VOI, 14 Juli.

Dalam persepektif itu, menjaga eksistensi suku Badui adalah menjaga kelestarian alam. Dan seperti yang dikatakan Tubagus. Ada kesalahan dalam cara banyak orang memandang Badui. Suku Badui jadi daya tarik wisata karena peradaban yang dianggap tertinggal.

Padahal, pelestarian alam sejatinya adalah bukti bahwa suku Badui mengusung peradaban maju, bahkan visioner. Jika menjaga Badui adalah menjaga kelestarian alam. Maka, menjaga alam adalah menjaga keberlangsungan hidup manusia di masa depan.

“Untuk masalah sampah, betul sekali ini menjadi masalah semua orang dan semua wilayah. Pemerintah Provinsi Banten harus berani belajar. Terutama dengan wilayah lain yang telah menerapkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai, supaya lingkungan tetap lestari,“ tutur Tubagus.

Mengenal orang Badui

Dalam berbagai litelatur, orang Badui dijelaskan sebagai bagian dari kelompok etnis Sunda. Kehidupan menarik Badui telah dikaji sejak dulu. Buku C.L. Blume yang merupakan ahli botani dari Belanda menjelaskan pertemuan pertamanya dengan orang-orang Badui ketika ia berkunjung ke Kanekes tahun 1822.

“... Di pangkuan sebuah rangkaian pegunungan yang menjulang tinggi di Kerajaan Bantam (Banten), di Jawa Barat, kami mendapat beberapa kampung pribumi, yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar,” tulis Blume.

Blume berspekulasi bahwa orang-orang Badui adalah kelompok masyarakat yang bersembunyi karena runtuhnya Kerajaan Sunda Kuno di awal abad ke-17. Dari pelarian itu mereka kemudian membangun kehidupan baru dengan berbagai nilai yang dianut hingga kini.

“... di sebelah barat dan selatan gunung ini, yang tidak dimasuki oleh ekspedisi Hasanuddin. Dalam kegelapan hutan yang lebat mereka masih memuja Dewa mereka selama berabad-abad,”  ungkap Blume, dikutip Judistira Gama dalam buku Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara (1993).

Judistira juga mengangkat tulisan seorang pejabat Belanda yang juga asisten residen Banten Selatan bernama Spanoghe. Dalam tulisan yang dirilis 1838 itu Spanoghe menyebut nama Badui kemungkinan berasal dari kata Buddha.

“la juga menduga bahwa komunitas ini diberi nama menuruti nama Sungai Cibaduyut. Ketika mereka lari dari Kerajaan Pajajaran dan berhasil lolos dari kepungan para pengikut Islam, mereka menetap di sepanjang anak sungai itu. Sungai Cibaduyut tidak ada lagi di daerah ini, tetapi Sungai Cibaduyut mengalir di sana, memisahkan daerah komunitas Badui dari daerah Muslim di sebelah utaranya,” tulis Judistira.

Suku Badui (Sumber: Commons Wikimedia)

Berbeda dengan Judistira. Kiki Muhammad Hakiki, dalam jurnalnya, Identitas Agama Orang Baduy (2011) mengungkap, nama Badui justru disinyalir muncul pertama kali dari orang-orang yang berada di luar Badui dan sudah memeluk agama Islam.

“Penyebutan ini ditengarai sebagai sebutan ejekan terhadap mereka (orang Badui) berdasarkan beberapa alasan, yakni kehidupan yang primitif, nomaden, ketergantungan pada alam, membuat mereka disamakan dengan kehidupan masyarakat Badui, Badawi atau Bedouin yang ada di daerah Arab,” terangnya.

Meski begitu, kala itu sebutan orang Badui atau urang Badui tidak disukai. Orang Badui lebih bangga dengan sebutan Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih khusus dengan menyebut perkampungan asal mereka seperti; Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu, Urang Panamping.

Perlahan-lahan, sebutan Badui mulai diterima. Kendati demikian, suku Badui dibagi jadi tiga: Badui Dalam, Panamping, dan Badui Luar. Secara garis besar, ketiga kelompok mengusung nilai adat yang sama. Perbedaan-perbedaan ada pada sejumlah hal dalam kehidupan harian.

Badui menjaga tradisi

Sebagaimana diungkap Jul Jacobs dalam buku De Badoej’s (1891), orang Badui sangat setia pada tradisi dan menghindari segala perubahan. “Cara hidup orang Badui selalu mengikuti peraturan dan larangan.”

“Karena rasa takut yang besar, mereka menghindari segala hal yang dapat membangkitkan kegembiraan dan kemanjaan hidup, dan membangun tempat tinggal mereka menyerupai makam orang-orang hidup, dengan cara mengelilinginya dengan tempat-tempat suci. Kami cenderung menyebut orang Badui sebagai pertapa,” tambahnya.

Tak hanya melestarikan tradisi. Orang Badui pun terkenal dalam melestarikan lingkungan. Semisal, setiap ladang yang telah dipakai dan akan ditinggakan oleh mereka, ladang tersebut harus ditanami terlebih dahulu sehigga kelak dapat digunakan peladang lain.

“Adat juga melarang penggunaan alat-alat berat serta pestisida. Biasanya mereka hanya menggunakan koret (sabit), kayu untuk-membuat lubang tempat benih, dan etem (sejenis ani-ani),” tutur Cahyo Junaedi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Panjang Tak Dipotong, Pendek Tak Disambung (2006).

Mereka juga mengharamkan meratakan kontur tanah untuk menyiapkan lahan baru. Begitu pula perihal membelokkan sungai untuk irigasi, yang bagi mereka di anggap sebuah hal yang menyalahi berkat dari sang penguasa alam semesta.

Oleh sebab itu, panen padi hanya berlangsung setahun sekali. Itupun awal masa tanam ditentukan oleh pu’un (pemimpin tertinggi Badui) dengan sebutan ngaseuk, dan diawali dengan sederet upacara adat memuja Dewi Sri, Dewi Pertanian dalam mitologi Sunda.

Uniknya, sampai hari ini prinsip itu masih dipegang oleh orang Badui. Mereka nyatanya sedari dulu telah berhasil menaklukkan alam tanpa merusaknya. Setidaknya itu terlihat dari semboyan hidup yang mereka pegang teguh: Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung.