Arus Kas Gapura Angkasa Tertekan, Manajemen Holding BUMN Aviasi: Salah Satunya karena Utang Garuda Indonesia Rp600 Miliar

JAKARTA - Perusahaan patungan pelat merah, PT Gapura Angkasa (Persero) tengah mengalami tekanan cash flow atau arus kas akibat pandemi COVID-19. Direktur Project Management Office (PMO) Holding BUMN Aviasi dan Pariwisata, Edwin Hidayat mengatakan tekanan Gapura disebabkan sejumlah faktor. Di antaranya penurunan jumlah penumpang hingga utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang belum terbayarkan.

Sekadar informasi, Gapura Angkasa merupakan penyedia layanan penerbangan berupa ground handling di bandara udara milik PT Angkasa Pura I (Persero) dan Angkasa Pura II (Persero). Ground Handling berkaitan dengan penanganan atau pelayanan bagasi, kargo, pos, peralatan pembantu pergerakan pesawat di darat dan selama di bandar udara, baik untuk keberangkatan hingga kedatangan.

"BUMN ini punya ground handling namanya PT Gapura. PT Gapura ini kondisinya sangat tidak menguntungkan karena memang produk turun sekali karena jumlah (penumpang) turun," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis, 2 September.

Lebih lanjut, Edwin mengatakan penurunan lalu lintas penerbangan dalam negeri mengakibatkan penurunan total produksi ground handling sebesar 30,5 persen sejak 2018 hingga 2021. Sementara, layanan ini adalah kontributor pendapatan utama profitabilitas bisnis layanan penunjang penerbangan mencapai 60,5 persen.

Selain itu, kata Edwin, keterpurukan Garuda Indonesia juga ikut mempengaruhi kinerja perusahaan. Sebab, tingkat produksinya juga bergantung pada kinerja maskapai penerbangan pelat merah tersebut.

"PT Gapura ini kondisinya sangat tidak menguntungkan karena memang produk turun sekali karena jumlah turun. Dan sangat berdampak dengan kondisi Garuda pada saat ini, outstanding utang Garuda kepada Gapura itu lebih dari Rp600 miliar, jadi sudah produksi turun, ini yang sangat memberatkan," tuturnya.

Karena itu, Edwin berharap Gapura harus diselamatkan seiring recovery yang terus berjalan. Alasannya tanpa penyelamatan dan penataan bisnis Gapura, jalan pemulihan bisnis aviasi akan timpang. Ia mengatakan, PT Aviasi Pariwisata Indonesia sebagai Holding Aviasi dan Pendukung juga membutuhkan penguatan modal guna mengembangkan pelayanan, penataan bisnis dan portofolio Gapura Angkasa.

Edwin mengatakan pihaknya akan mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp700 miliar untuk modal.

"Kita harapkan ada Rp700 miliar kita alokasikan ke Gapura. Untuk penguatan modal dan juga peremajaan alat-alat, termasuk menata portofolio usahanya," ucapnya.

Sekadar informasi, awalnya Garuda melaksanakan ground handling sendiri. Namun mengingat kebutuhan layanan profesional dan tuntutan hasil kerja yang optimal tanpa mengabaikan unsur keamanan, keselamatan, keandalan dan ketepatan waktu, maka Garuda menyerahkan kegiatan ground handling ke pihak lain agar dapat berkonsentrasi pada operasional pesawat udara.

Dari sanalah awal mula pendirian Gapura Angkasa. Maka per 21 November 2019 struktur kepemilikan saham Gapura Angkasa adalah Angkasa Pura II sebesar 46,62 persen, Garuda Indonesia 45,62 persen dan Angkasa Pura I 7,76 persen.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian BUMN sudah memaparkan bahwa alasan menumpuknya utang Garuda hingga mencapai Rp70 triliun disebabkan karena biaya sewa (leasing) pesawat yang di luar batas wajar.

Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan menyebut beberapa tipe pesawat yang menyebabkan kenaikan biaya-biaya tersebut. Contoh ada Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, A330, ATR, dan Bombardier.

"Ini efisiensinya bermasalah, ditambah rute yang banyak diterbangi itu tidak profitable," ujarnya dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IV DPR RI, Kamis, 3 Juni.