Kisah Pahlawan Olimpiade Tokyo, Apriyani Rahayu: Dibuatkan Raket Kayu oleh Ayah hingga Ukir Sejarah Bulu Tangkis
JAKARTA - Bulu tangkis atau badminton salah satu jenis olahraga yang dapat dimainkan semua golongan usia baik anak-anak, remaja, dewasa hingga tua.
Olahraga ini juga dapat dimainkan oleh semua golongan tidak hanya kalangan elite dan berkelas, namun dapat dimainkan oleh orang-orang dengan ekonomi pas-pasan.
Dengan bermodalkan raket dan net, bulu tangkis dapat dimainkan secara ganda baik sesama putra, sesama putri, putra-putri ataupun secara tunggal.
Permainan ini digemari hingga ke pelosok-pelosok, tidak terkecuali Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Siapa yang menyangka, daerah ini melahirkan seorang putri dan berhasil mengharumkan nama bangsa Indonesia melalui bulu tangkis di ajang Olimpiade Tokyo 2020.
Gadis itu bernama Apriyani Rahayu, atlet bulu tangkis kelahiran Desa Lawulo, Kecamatan Anggaberi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Gadis yang lahir pada 29 April 1998 lalu, telah mengukir sejarah bersama rekannya Greysia Polii.
Bersama Greysia Polii, Apriyani sukses meraih medali emas di cabang badminton ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 setelah menyingkirkan ganda putri China Chen Qing Chen/Jia Yi Fan pada Senin, dengan angka 21-19, 21-15.
Apriyani, si bungsu dari empat bersaudara itu merupakan buah hati dari pasangan Ameruddin Pora dan Siti Jauhar (almarhum).
Sejak Greysia/Apriyani meraih medali emas Olimpiade Tokyo, Senin, semua mata dan perhatian kini tertuju kepada mereka. Rasa bangga dan terharu ada pada seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagai pemain ganda putri nomor satu di Indonesia, perjuangan Apriyani Rahayu mencapai titik ini tidak lah mudah.
Ayah Apriyani, Ameruddin Pora menjadi saksi bagaimana putrinya berjuang dari titik nol hingga bisa menjadi pemain profesional dan berkelas dunia.
Lewat telepon selulernya, Ameruddin bercerita kepada Antara, anaknya mulai memegang raket pada usia tiga tahun, usia yang terbilang sangat muda.
Ketika sang ayah melihat anaknya mulai senang bermain bulu tangkis, hati sang ayah terketuk untuk membuatkan raket meskipun dari kayu dengan senar pancing.
Di masa kecilnya, kondisi perekomonian keluarga yang pas-pasan membuat Apriyani Rahayu harus berlatih bulu tangkis dengan alat sekadarnya.
Meski terlihat sangat sederhana, namun anaknya tidak mempermasalahkan raket buatan sang ayah, bahkan Apriyani kecil menikmati permainan dengan raket buah tangan ayahnya.
Tak jarang, ketika senar raket milik Apriyani kecil putus, sang ayah bergerak cepat menyambung dan merajut kembali senar raket itu. Di sela rajutan senar raket sang ayah terselip doa agar anaknya kelak menjadi pemain profesional.
Melihat anaknya semakin gemar bermain bulu tangkis, Ameruddin kemudian berinisiatif membuatkan sebuah lapangan di belakang rumah mereka. Di lapangan itu, Apriyani bermain bersama teman-teman sebayanya.
Tak disangka, usaha dan dorongan orang tua membuahkan hasil bagi Apriyani.
Ameruddin mengaku sangat bangga bisa memiliki putri yang mengharumkan nama bangsa dan telah mengukir sejarah bahwa putri daerah Kabupaten Konawe bersama rekannya Greysia Polii yang juga berdarah Minahasa Sulawesi Utara, menjadi juara Olimpiade Tokyo 2020.
Baca juga:
- Tangan Dingin Eng Hian yang Berbuah Emas Olimpiade untuk Greysia/Apriyani
- Rayakan Emas Olimpiade Tokyo, Greysia Kenang Peran Erick Thohir di London 2012: Ini Pak Hadiahnya buat Bapak
- Atlet Loncat Indah China Ikuti Jejak Simone Biles Suarakan Isu Kesehatan Mental
- Usai Mundur karena kesehatan Mental, Simone Biles Kembali Berkompetisi di Olimpiade Tokyo Hari Ini
Bakat ibu
Ameruddin kembali bercerita, anaknya yang kini berusia 23 tahun itu mewarisi bakat ibunya yang telah meninggal pada 2015 lalu.
"Karena mama dia (almarhumah Ibu Apriyani) pemain bulu tangkis, tenis meja dengan voli yang dia gemari. Jadi itu bakat dari almarhumah mamanya," kata Amiruddin melansir Antara.
Amiruddin bercerita, ibunda Apriyani, Siti Jauhar, mendidik dan menanamkan jiwa berani dan terus bersemangat kepada anaknya sejak kecil.
Bahkan ia menyebut, jiwa yang tangguh dan keras yang ada pada anaknya merupakan keberhasilan didikan mendiang istrinya.
Di mata sang ayah, Apriyani merupakan anak yang keras, keras dalam arti tidak mudah menyerah dan terus berusaha meski dengan kondisi terbatas.
Sang ayah mengaku, didikan itu semua dilakukan oleh almarhumah ibu Apriyani.
"Kalau sosok dari Apriyani itu keras, keras dia, maunya harus menang. Dari kecil memang dididik. Pertama yang mendidik bukan saya, mamanya, almarhumah," ujar dia.
Apriyani merupakan anak bungsu dari empat orang bersaudara dan merupakan satu-satunya anak perempuan.
Amiruddin menuturkan, sejak anaknya menyukai bulu tangkis, bahkan sebelum ia masu sekolah dasar, Ameruddin mengarahkan anaknya agar terus berlatih bulu tangkis. Apri mulai latihan di Gedung Sarana Kegiatan Bersama (SKB) Unaaha, Kabupaten Konawe, yang berjarak 9 kilometer dari rumahnya.
Pada 2005, Apriyani mulai ikut turnamen bulu tangkis tingkat kecamatan, setahun kemudian ikut ajang bulu tangkis junior tingkat Kabupaten Konawe.
Saat duduk di kelas enam SD, prestasinya semakin cemerlang. Apriyani lalu ikut Pekan Olahraga Daerah (Porda) Sultra di kota Raha, kabupaten Muna pada 2007 dan meraih juara II.
Ameruddin, sang ayah adalah pegawai di UPTD Dinas Pertanian Konawe. Sementara Siti Jauhar hanya ibu rumah tangga.
Hasil kerja kerasnya pun tidak sia-sia. Di beberapa pertandingan tingkat provinsi, untuk kelas junior ia selalu gemilang.
Ameruddin menuturkan, ibu Apriyani adalah orang yang paling mendukung impian anaknya. Sang ibu bahkan selalu mendampingi anaknya bertanding, apalagi saat masih di level junior.
Demi terus mengasah kemampuannya menjadi pebulu tangkis profesional, Apriyani Rahayu pertama kali bergabung dengan PB Pelita Bakri pada 3 September 2011 ketika mantan juara dunia bulu tangkis Icuk Sugiarto menjadi ketua PBSI DKI Jakarta kemudian akhirnya hijrah ke PB Jayaraya Jakarta hingga sekarang ini.
Ketika ditanya apakah Apriyani sempat pulang ke rumah sebelum tampil pada Olimpiade Tokyo ini, Amiruddin mengatakan, seminggu sebelum tampil di Olimpiade anaknya sempat pulang untuk ziarah ke makam ibunya.
Ibunda Apriyani meninggal ketika pebulu tangkis itu mengikuti satu kejuaraan di Lima, Peru, pada 10 November 2015. Saat masuk ke lapangan untuk bertanding, Apriyani sempat diminta keluar karena ada kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Tetapi Apriyani tetap melanjutkan pertandingan dan meraih juara.
Menyinggung harapannya setelah meraih medali emas di Olimpiade, dia mengatakan, anaknya tetap bisa tampil sebagai juara pada event-event internasional.
Doa
Ameruddin mengaku ia dan almarhumah istinya selalu mendukung Apriyani sepenuhnya untuk bisa menjadi pebulu tangkis profesional.
Sambari ketawa, Ameruddin mengaku jika ada 200 persen, dukungan itu ia berikan kepada anaknya.
Ia rela dipisahkan oleh jarak dengan satu-satunya anak perempuannya demi mendukung karir Apriyani.
Karena berjauhan dengan Apriyani, sang ayah hanya bisa menitipkan sepenggal doa pada setiap sujud shalatnya agar anaknya selalu diberikan kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sang ayah percaya, kekuatan doa melebihi segalanya. Sehingga ia selalu mendoakan anaknya termasuk mendoakan rekannya Greysia Polii.
"Pokoknya setiap saya shalat, saya doakan dia dengan Greysia Polii, tidak ada yang lain paling afdal selain doa ... karena doa itu bukan kita punya mau tetapi Tuhan punya mau," katanya.
Ameruddin juga mengaku tidak pernah mengganggu Apriyani jika sedang latihan di Jakarta. Meski kerinduan datang, ia hanya meminta kepada Tuhan agar Apriyani selalu sehat dan sukses.
"Selama dia dilatih di Jakarta, kita tidak ganggu, meski hitungan tahun baru pulang, karena kalau diganggu kiri kanan bagaimana mau ada hasil," ucap sang ayah.
"Kita doain saja dari sini supaya dia selalu sehat, kalau kita mau ikuti maunya kangen dengan dia, kita ganggu dia maka tidak bisa dia mendapatkan hasil," tambah sang ayah.
Meski demikian, Ameruddin bersyukur karena Apriyani juga rutin menghubungi dirinya melalui panggilan video, dan selalu berkabar tentang kondisinya.
Sang ayah mengaku selalu mendapat kabar dari Apriyani ketika tidak sedang latihan. Bahkan sang anak selalu menelpon sebelum dan setelah bertanding, sebelum makan, hingga sebelum tidur.
Ia berharap anaknya tidak cepat merasa puas dengan prestasi yang diraih saat ini karena masih banyak prestasi ke depannya yang harus di raih, serta memiliki sifat yang baik dan ramah kepada semua orang.
"Tidak ada lain, pokoknya kami mendukung terus. Tapi jangan merasa puas, kalau sudah merasa puas berarti tidak mau lagi berusaha karena sudah puas. Dan kedua jangan sombong. Dua saja itu kuncinya, jangan cepat merasa puas dan jangan sombong," kata Ameruddin.
Sejak pertama kali cabang olahraga bulu tangkis dimainkan pada Olimpiade yaitu tahun 1992, baru pertama kali nomor ganda putri meraih medali emas. Pada tahun 1992, cabang bulu tangkis menyumbang dua emas dari Susy Susanti dan Alan Budikusuma, kemudian Olimpiade 1996 pasangan Ricky Subagja/Rexy Mainaky (ganda putra) meraih emas.
Pada Olimpiade 2000, ganda putra Chandra Wijaya/Tony Gunawan yang meraih medali emas, dilanjutkan pada Olimpiade 2004 oleh Taufik Hidayat yang meraih medali emas tunggal putra. Pada Olimpiade 2008 pasangan Hendra Setiawan/Markis Kido kembali meraih emas ganda putra, dan Olimpiade 2016 pasangan Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir meraih emas nomor ganda campuran.