Asal-usul Lahirnya Kata 'Kompeni'
JAKARTA - Masa penjajahan Belanda merupakan periode paling kelam dalam sejarah bangsa ini. Sederat fakta mulai dari politik adu domba, tanam paksa, dan memiskinkan kaum bumiputra menambahkan kekelaman tersebut. Otomatis, ingatan akan kekejaman Belanda semakin lama semakin mengakar di pikiran orang Indonesia. Saking membekasnya, orang Indonesia pun akrab menyebut penguasa kolonial dengan sebutan 'kompeni'.
Tak pelak, istilah 'kompeni' menjadi kata serapan yang unik dan masih dipergunakan hingga hari ini. Sampai-sampai, pamor kata 'kompeni' sama kuatnya dengan istilah lain. Orang Indonesia menyebut Belanda seperti penjajah, Olanda, maupun pemerintah kolonial.
Padahal, kata 'kompeni' sendiri berasal dari kesalahan orang Indonesia dalam melafalkan nama kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Oleh karenanya, yang paling banyak diingat hanya baris terakhir, yakni Compagnie. Yang lama-kelamaan lidah Nusantara mulai menyerap kata tersebut menjadi 'kompeni'.
Oleh sebab itu, ragam literasi mulai dari buku, drama, maupun film-film banyak menggunakan istilah 'kompeni' sebagai pelafalan yang lebih mudah diucapkan. Beberapa di antaranya ada nama M.H Szekely Lulofs yang menulis buku Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh (1948).
Baca juga:
Dirinya juga sering kali menulis kata 'kompeni' untuk menyebut orang Belanda. Porsi penyebutan pun sama banyaknya dengan penyebutan orang Aceh yang sering kali menyatakan pemerintah kolonial sebagai 'Kaphe (kafir) Laknatullah'.
“Teuku Umar telah mendapatkan gelar baru 'kompeni', yaitu sekutu kita. Akan tetap, gelar itu tidak membahagiakan hati Umar. Sudah tiga tahun lamanya ia melakukan sandiwara sebagai orang yang takluk kepada Belanda. Selama itu ia dapat memainkan peranannya dengan lancar dan memuaskan,” imbuh Lulofs.
Tak cuma Lulofs, B. Hoetink - yang menceritakan seorang kapiten Tionghoa yang menjadi kambing hitam peristiwa Geger Pacinan atau pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740 - pun menggunakan kata 'kompeni' untuk menyebut Belanda. Dalam bukunya berjudul Ni Hoe Kong: Kapitein Tionghoa di Betawi Dalem Tahun 1740 (1918), Hoetink menjelaskan keluarga Ni Hoe Hong ingin membawa pulang bekas jasad kapiten China yang berada di Ambon untuk kembali ke Batavia.
“Atas keluarga punya permohonan, maka dalam tahun 1762, anak laki-lakinya diizinkan berangkat ke Ambon untuk mengambil tulang-tulang ayahnya dan membawanya kembali ke Betawi sama satu kapal dari kompeni dengan bayar itu ongkos pengangkutan,” tulisnya.
Kiranya, itulah yang membuat kata 'kompeni' menjadi populer. Apalagi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), telah menyerap kata 'kompeni' sebagai persekutuan dagang Belanda di Nusantara pada pertengahan abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-19 VOC, pun turut pula diartikan sebagai pemerintah Belanda pada zaman penjajahan.
Namun, bukan cuma bangsa Indonesia saja yang menyerap kata 'kompeni'. Tetangga serumpun Malaysia pun senada. Akan tetapi, Malaysia menyebut kata 'kompeni' untuk Kongsi dagang Inggris, East India Company (EIC), bukan kepada kongsi dagang Belanda VOC.
Awal Mula Kongsi Dagang Belanda
Tak lengkap membahas istilah 'kompeni' tanpa membahas langsung perkara sejarah kongsi dagang Belanda VOC. Sebab, VOC lah yang menjadi awalan bangsa Indonesia dijajah selama ratusan tahun. Sehingga peran VOC begitu besar bagi sejarah Indonesia maupun Belanda.
Bagi Indonesia, VOC merupakan penjajah yang terkutuk. Sedangkan bagi Belanda, gaung VOC berperan besar pada eksistensi Negeri Kincir Angin sampai hari ini. Dikutip dari Susan Blackburn dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011), mengungkap VOC yang bentuk oleh dewan direktur yang dikenal dengan nama Heeren Zeventien, yakni 17 orang perwakilan pemegang saham, yang mulai dibentuk pada 1602.
Tujuan pembentukannya tak lain untuk tujuan nasional yaitu mengumpulkan kekayaan dari negeri Tanjung Harapan hingga ke Timur (Indonesia). Maka, VOC pun tak sekadar menjadi kongsi dagang biasa. Oleh pemerintah Belanda, VOC diberikan peran layaknya sebuah negara. Yang mana VOC memiliki angkatan perang dan berhak mengadakan perjanjian.
“VOC adalah perusahaan komersial, bukan perusahaan untuk kolonialisasi. Karena itu ia tak tertarik pada wilayah-wilayah yang hampir tak berpenghuni di Benua Selatan yang ditemukannya. Pada pertengahan abad ke-17 kompeni telah melebarkan sayap di seluruh wilayah pantai di Asia,” ungkap Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).
Setali dengan itu, Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629), Jan Pieterszoon Coen memiliki rencana raksasa untuk menjadikan Batavia (sekarang: Jakarta) sebagai pusat perdagangan di Asia ini. Melalui langkahnya, lewat lajur perdagangan yang dalam pelaksanaannya menghalalkan segala cara, VOC dapat memperoleh keuntungan besar dengan cara mengekspor barang berharga dari daerah kekuasaannya ke Eropa.
Lebih lanjut, sejarawan Ong Hok Ham dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Birokrasi, dari Hindia-Belanda (1984) menegaskan, selama VOC di Indonesia, kompeni telah membangun kedudukan politis melalui perjanjian-perjanjian dengan raja-raja Mataram dan para penguasa lain di pesisiran.
Sebagai siasat, kompeni umumnya berpihak kepada pemberontak. Alih-alih sebagai sahabat VOC terus-menerus mendukung para pemberontak untuk segera mengambil alih kekuasaan dari penguasa pribumi. Bahkan, tak jarang kompeni sering kali terlibat dalam sengketa antara pangeran yang memperebutkan kekuasaan.
Alhasil, kala salah satu berhasil menduduki kekuasaan. Maka, VOC dapat mengotrol para penguasa agar selalu berpihak kepada pemerintah Kolonial. “Dengan demikian, VOC berfungsi sebagai stabilisator politik. Ia menjaga perimbangan kekuasaan antara penguasa pusat (raja) dan para penguasa setempat (bupati). Selain itu, ia berfungsi juga sebagai sumber keuangan bagi elite pribumi.”
Oleh sebab itu, tanpa disadari penguasa lokal menjadi perpanjangan tangan VOC untuk terus mengekploitasi kekayaan di bumi Nusantara. Dalam artian lain, penguasa yang ada telah dijadikan pegawai Hindia-Belanda, yang kesohor dengan istilah pangreh praja atau para penguasa kerajaan.
Sayangnya, karena intrik politik, kemampuan bersaing yang kurang, dan korupsi di kalangan pejabat VOC, kelak VOC dinyatakan bangkrut. VOC bubar pada 1799. Segala hal peninggalan VOC di Indonesia, khususnya di Jawa, diambil alih oleh negara Belanda, yang berangsur-angsur merubah nama wilayah menjadi Hindia-Belanda.
Meski begitu, sejarawan JJ Rizal yang dihubungi oleh VOI menegaskan, meskipun kekuasaan VOC telah berakhir, gaung kekuasaan mereka masih melekat diingatan orang Indonesia. Tak heran, istilah kompeni tetap lestari untuk menyebut pemerintah Kolonial Belanda.
“Atas dasar awal kolonialisme dimulai oleh VOC dan seterusnya. Maka, meski telah diambil alih oleh negara Belanda, sebutan kompeni tetap langgeng sebagai kata ganti pemerintah kolonial yang paling pas,” tutup Rizal.