Machine Learning dengan Dataset COVID-19 Terbesar dari AS Mampu Prediksi Tingkat Keparahan Pasien

JAKARTA - Setelah setahun mengumpulkan data kasus COVID-19, repositori terpusat dari catatan kesehatan serangan virus ini akhirnya menunjukkan hasil dan dibagikan lewat jurnal yang terbit hari ini, Rabu, 14 Juli. 

Repositori tersebut merupakan catatan COVID-19 terbesar yang dimiliiki Amerika Serikat hingga hari ini. Pusat penyimpanan data ini dibangun oleh sekelompok peneliti dan ahli data untuk lebih memahami fenomena pandemi COVID-19. 

Penelitian tersebut, yang diterbitkan pada jurnal JAMA Network Open, menghitung faktor risiko dari beberapa kasus terparah virus corona. Selain itu, juga melacak perkembangan virus dari waktu ke waktu. 

Untuk membantu memahami dataset yang dimiliki, peneliti merancang machine learning untuk memprediksi tingkat keparahan simtom COVID dari pasien berdasarkan informasi yang diperoleh sejak hari pertama. 

Menggunakan database terpusat, yang disebut National COVID Cohort Collaborative Data Enclave, atau N3C. Artinya, peneliti mampu menyertakan catatan kesehatan dari ribuan pasien di seluruh Amerika serta merancang analisa dari data yang terkumpulkan. 

Penelitian ini menggunakan data dari 34 pusat kesehatan, menyertakan lebih dari 1 juta orang dewasa -174.568 di antaranya terdeteksi positif COVI-19 serta 1.133.848 negatif. Penelitian juga menyertakan catatan kesehatan dari bulan Januari 2020 hingga Desember 2020.

[see-also]

- https://voi.id/teknologi/66831/branson-ke-luar-angkasa-pacu-jeff-bezos-dan-elon-musk-segera-mengikutinya

- https://voi.id/teknologi/66818/sukses-tur-ke-luar-angkasa-branson-ingin-bangun-hotel-di-bulan

- https://voi.id/teknologi/66830/tantang-tiktok-youtube-shorts-akhirnya-diperluas-ke-100-negara

- https://voi.id/teknologi/66798/benci-jadi-ceo-elon-musk-dituduh-menekan-para-pemegang-saham

- https://voi.id/teknologi/66780/gunakan-ota-perbaikan-fitur-mobil-tak-perlu-datang-ke-bengkel

[/see_also]

Perawatan Pasien Terus Berubah 

Hasil analisa menunjukkan bagaimana perawatan COVID-19 terus berubah sepanjang tahun 2020. Perubahan ini berkaitan dengan percobaan perawatan baru serta pemahaman yang lebih mendalam terkait kondisi pasien dan gejala pasien virus corona. 

Diperoleh kesimpulan bahwa pasien yang dirawat menggunakan obat anti-malaria hydroxychloroquine, yang dipromosikan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, turun hingga 0 persen pada akhir Mei 2020. Penggunaan obat steroid dexamethasone sempat meningkat tajam pada bulan Juni, usai sebuah penelitian menunjukkan khasiatnya dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup.

Tak hanya itu, peneliti juga mengkonfirmasi bahwa tingkat kelangsungan hidup dari pasien COVID-19 terus meningkat sepanjang tahun 2020. Pada bulan Maret dan April, sebanyak 16 persen dari total pasien yang dirawat di rumah sakit wafat. Sedangkan pada bulan Oktober, jumlahnya menurun hingga menjadi 9 persen saja. 

Orang yang datang ke rumah sakit dengan kondisi detak jantung, tingkat napas, serta suhu yang lebih tinggi lebih diutamakan untuk perawatan lebih jauh seperti menggunakan ventilasi. Pasien dengan kondisi tersebut juga yang paling berpotensi besar untuk meninggal selama perawatan.

Sementara itu, jumlah sel, keasaman darah, peradangan, serta fungsi hati yang kurang normal juga berhubungan langsung dengan kasus yang lebih parah. Berdasarkan data tersebut, tim peneliti pun merancang model machine learning yang mampu memprediksi pasien mana yang bakal menunjukkan gejala lebih parah.