Ikatan Dokter Anak Indonesia Belum Rekomendasikan Belajar Tatap Muka

JAKARTA - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) belum merekomendasikan pembelajaran tatap muka (PTM) karena situasi pandemi COVID-19 di Tanah Air yang kembali mengkhawatirkan serta munculnya varian baru virus corona.

"Melihat situasi dan penyebaran COVID-19 di Indonesia, saat ini sekolah tatap muka belum direkomendasikan," ujar Konsultan Respirologi anak dari Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Nastiti Kaswandani dikutip Antara, Jumat, 18 Juni.

Menurut dia persyaratan dibukanya kembali sekolah salah satunya transmisi lokal dapat terkendali ketika Positivity Rate pemeriksaan SWAB PCR sudah rendah atau kurang dari lima persen. Di samping itu, tingkat kematian juga harus menunjukkan angka penurunan.

Sejauh pemantauan IDAI, tingkat Positivity Rate jarang menyentuh angka kurang dari lima persen. Padahal jika dibandingkan dengan jumlah tes, Indonesia juga masih tergolong rendah.

"Ini yang menjadi masalah. Ketika nanti ada sekolah yang tetap memaksakan tatap muka dibuka, kita tidak bisa menghentikan sekolah dibuka terutama di daerah-daerah yang sangat keras meminta sekolah dibuka. Sehingga kita terpaksa membuat rekomendasi dan memberikan rambu-rambu agar tak memperburuk transmisi di sekolah," ujar Nastiti.

Dia menjelaskan jika sekolah tatap muka tetap ingin dimulai, maka pihak penyelenggara harus menyiapkan Blended Learning (opsi metode pembelajaran). Anak dan orang tua diberi kebebasan memilih metode pembelajaran luring atau daring.

"Kalau dibuka nanti ada pilihan, jika orang tua ingin anaknya di rumah saja, guru harus bisa memfasilitasi online learning-nya. Kalau ada online dan offline anak-anak memiliki hak yang sama, perlakuan yang sama," sambung Nastiti.

Maka dari itu, Nastiti mendesak penyelenggara mencari inovasi baru dalam proses belajar mengajar mengingat pandemi COVID-19 tidak diketahui kapan akan berakhir.

Beberapa inovasi yang bisa dilakukan seperti menggelar proses belajar mengajar di ruangan terbuka semisal taman, lapangan, atau sekolah di alam terbuka. Berdasarkan penelitian, jika aktivitas dilakukan di tempat terbuka resiko penularan lebih rendah ketimbang di ruangan tertutup.

Persiapan lainnya yakni vaksinasi. Semua guru dan pengurus sekolah yang berhubungan dengan anak harus sudah divaksinasi. Kemudian membuat kelompok belajar kecil agar jika nantinya ada yang terkonfirmasi positif maka proses pelacakan semakin mudah.

"Kalau dicampur dengan melibatkan banyak orang maka proses tracing-nya juga semakin besar. Sementara kemampuan kita untuk melakukan kontak tracing belum sebaik negara lain," kata Nastiti.

Saat PTM juga harus diperhatikan jam masuk dan pulang secara bertahap, sehingga penumpukan anak-anak bisa diminimalisir. Apalagi naluri anak untuk berkumpul dan bermain dengan teman sebayanya begitu besar.

"Penjagaan gerbang dan pengawasan yang ketat dan disiplin guna menghindari kerumunan. Begitu juga dengan transportasi mesti diperhatikan. Hal lainnya membuat pemetaan risiko siswa-orang tua dengan komorbid. Anak dengan komorbiditas sebaiknya tetap belajar secara daring," ujarnya.