Kaum Difabel yang Dilupakan Pemerintah dan Masyarakat di Tengah Pandemi COVID-19
JAKARTA - Di tengah penanganan terhadap pandemi COVID-19, pemerintah dan masyarakat melupakan kaum difabel yang juga mengalami dampak dari penyebaran virus ini dalam kehidupan mereka.
Ketua Umum Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Provinsi Jatim, Pinky Saptandari, mengatakan pemerintah dan masyarakat lupa kelompok minoritas yang juga kesulitan karena kehilangan pekerjaan mereka.
"Sering kali orang melupakan ada yang paling terdampak selain kita. Kita semua susah, betul. Pengusaha susah, karyawan susah, tapi ada yang lebih susah daripada kita yaitu teman-teman disabilitas," kata Pinky dalam konferensi pers secara daring yang ditayangkan di akun BNPB, Minggu, 17 Mei.
Kaum difabel yang bekerja di sektor informal, misalnya, pemijat tunarungu banyak yang terpaksa kehilangan pekerjaannya selama dua bulan belakangan sejak adanya pandemi COVID-19.
Tak hanya itu, kelompok difabel lainnya yang membuka jasa bengkel terpaksa harus menjual beberapa alat yang mendukung pekerjaan mereka. Tujuannya agar mereka tetap mendapatkan pemasukan untuk menyambung hidup.
"Jadi data statistik di lapangan memang banyak yang kehilangan pekerjaan. Banyak yang tidak bisa bekerja, contohnya tadi yang memijat, bengkel, dan sablon," ungkap dia.
Sebagai langkah lanjutan, kata Pinky, BK3S kemudian bergerak memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas di beberapa daerah. Hanya saja, masih banyak penyandang disabilitas yang belum terjangkau. Sehingga, dia berharap pemerintah dan masyarakat bisa membantu para kaum difabel tersebut.
Tak cuma kehilangan pendapatan
Selain masalah kehilangan pendapatan di tengah pandemi COVID-19, dalam diskusi yang sama, Executive Director Yayasan Plan Internasional Indonesia, Dini Widiastuti memaparkan banyak kaum difabel yang ternyata tak terdata dalam bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah.
"(Bantuan) pemerintah, menurut data dari tema-teman kami di lapangan belum sampai. Dari pemerintah itu sekarang kabarnya baru pendataan," ungkap dia.
Sehingga, Dini dan Pinky, lewat lembaga yang mereka kelola masing-masing terus mengupayakan langkah lain dalam membantu roda perekonomian kelompok difabel.
BK3S misalnya, kata Pinky, membuat program beli dan bagi. Lewat program ini, masyarakat bisa membantu produk rumahan kelompok difabel kemudian diberikan pada orang lain yang lebih membutuhkan.
Sementara Yayasan Plan Internasional Indonesia, kata Dini, telah menginisiasi pelatihan pembuatan masker untuk kemudian dijual kembali. Hal ini, dilaksanakan karena mereka tahu para penyandang difabel tak bisa sepenuhnya bergantung dari bantuan pemerintah.
"Kami latih membuat masker, jadi membantulah sedikit karena mereka belum mendapat bantuan dari pemerintah. Jadi mereka harus juga berdaya untuk bangkit sendiri," ungkapnya.
Selain masalah ekonomi, Dini juga menyoroti persoalan lain yaitu sulitnya akses pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang.
Belajar di rumah secara daring, kata dia, banyak dikeluhkan oleh anak-anak yang bertumbuh secara normal. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana kesulitan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Sehingga, kemudian dia mengingatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk lebih memperhatikan lagi masalah pendidikan.
"Jadi Kemendikbud itu juga gimana caranya supaya anak-anak itu tidak tertinggal. No one left behind kan katanya, termasuk juga untuk pendidikan," tutupnya.