Darurat Literasi di Tengah Pelajar Indonesia
JAKARTA - Dunia pendidikan Indonesia mendapat rapot merah. Hasil laporan PISA (Programme for International Student Assessment) yang dirilis kemarin (3/12) mencatat, kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia jeblok. Posisi Indonesia berada pada ranking 6 dari bawah, alias posisi ke 74 dari 79 negara. Melorotnya tingkat literasi pelajar Indonesia menjadi penyebab turunnya kemampuan berpikir kritis mereka. Otomatis, peringkat PISA juga ikut merosot.
Hampir semua skor kompetensi pelajar Indonesia menurun dari PISA 2015. Skor kompetensi membaca pelajar Indonesia paling merosot, dari 397 menjadi 371, disusul matematika dari 386 menjadi 379, dan sains dari 403 menjadi 396. Survei PISA 2018 menempatkan kualitas pendidikan Indonesia di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalam untuk semua bidang kompetensi.
PISA merupakan survei tiga tahunan yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Survei ini menilai kemampuan 600 ribu siswa berusia 15 tahun yang telah memperoleh pengetahuan dan keterampilan utama untuk berpartisipasi dalam masyarakat di 79 negara. Survei PISA 2018 fokus pada kemahiran membaca, matematika, sains, dan domain inovatif.
Jebloknya nilai PISA 2018 menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji adalah karena rendahnya tingkat literasi pelajar Indonesia. Menurutnya tingkat literasi kita masih sebatas membaca, tidak sampai memahami, menganalisis, dan nalar kritis.
"Karena tingkat literasi kita kan jeblok, ini berdampak pada capain PISA yang rendah dan tidak kompetitif," katanya kepada wartawan VOI hari ini (4/12).
Ubaid mengatakan program literasi harus digencarkan dan harus menjadi prioritas. Pasalnya selama ini program literasi hanya dijadikan program sampingan. "Oleh karena itu, dampaknya tidak maksimal," katanya.
Pentingnya program literasi tidak hanya diterapkan di sekolah, namun juga harus dikembangkan secara integratif baik di rumah dan juga masyarakat. Yang tak boleh luput juga, baiknya program literasi harus mencakup 6 dimensi literasi secara utuh. Enak dimensi tersebut yakni: baca-tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan kewarganegaraan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tak menampik terjadinya penurunan minat baca pelajar Indonesia. Ia juga mengamini Indonesia saat ini mengalami krisis literasi.
Menurut Nadiem penyebab Indonesia mengalami krisis literasi adalah karena kurangnya budaya membaca di kalangan anak-anak. Nadiem berpendapat bahwa keterlibatan orang tua sangat penting dalam pemenuhan literasi anak sejak dini. "Yang terpenting untuk literasi adalah dari orang tua. Dampak orang tua bisa lebih besar daripada guru," kata Nadiem ketika merilis PISA 2018 kemarin.
Membaca merupakan hal dasar dan penting untuk membentuk nalar kritis. Salah satu kesulitan pelajar Indonesia soal membaca adalah sulit memahami bacaan teks panjang. Hal itu seperti dikatakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno. Menurut Totok pelajar Indonesia hanya mampu mengidentifikasi informasi rutin dari bacaan pendek dan tulisan sederhana.
"Anak-anak kita begitu dihadapkan dengan bacaan panjang, biasanya terasa sangat berat," kata Totok dikutip Koran Tempo edisi (4/12).
Solusinya, untuk melatih kemampuan literasi anak adalah dengan membiasakan membaca surat kabar. "Membaca koran akan membantu anak terbiasa membaca teks panjang," kata Totok.