[MUSIK] Eet Sjahranie | Tentang Mengarsipkan Karya Pribadi Tanpa Kecuali
Zaman berjalan. Musik tetap hidup dalam tren yang terus berputar. Cara menikmatinya paling-paling yang berubah. Begitu pun medium perekamannya. Yang semakin berkembang menuju modern. Eet Sjahranie ada di setiap simpul transisi peralihan itu. Dan dengan sebuah gerakan kecil, Eet berhasil mengabadikan segala karya yang pernah ia buat di sepanjang karier bermusiknya. Dari kisah Eet mengarsip, kita sejatinya bisa belajar bagaimana menghormati karya sendiri.
Kami tiba di Cimanggis, Depok, Jawa Barat tepat waktu. Dari yang kami lihat, jam digital di toko pulsa berdinding merah pudar itu menunjukkan pukul 20.27 WIB. Kami terpaksa menyela perbincangan telepon si penjaga toko untuk memastikan gerbang kembar berwarna abu-abu yang berdiri tepat di sebelah toko bertulis Galuh Cell itu adalah rumah Eet Sjahranie, gitaris band rock legendaris, Edane. Benar saja.
Namun, menurut si penjaga toko, biasanya orang-orang harus janjian dahulu sebelum bertamu ke dalam rumah. Bertepatan, telepon genggam kami berdering. Eet memastikan keberadaan kami. Mengetahui kami telah berada tepat di depan gerbang rumahnya, Eet bergegas keluar. "Pas banget kan. Gue juga baru banget sampai rumah, nih," kata Eet sembari membuka gerbang lebar-lebar.
Eet kemudian menggiring kami ke sebuah teras terbuka. Di kelilingi ruang-ruang kosong serupa gudang, perbincangan itu dimulai. Tentang Eet yang konon adalah musisi paling konsisten melakukan pengarsipan karyanya secara mandiri. Bagi Eet, setiap karya yang ia telurkan adalah proses penting yang membangun identitasnya sebagai musisi. Dan pengarsipan adalah upayanya menjaga keabadian identitas tersebut.
Dalam sudut pandang yang lebih sederhana, Eet memaknai pengarsipan yang ia lakukan sebagai caranya menghormati karya sendiri. Memulai karier profesional sejak tahun '80-an, Eet telah terlibat dalam berbagai produksi musik. Tak cuma untuk berbagai proyek band di mana Eet pernah berdiri sebagai personel macam God Bless, Edane, atau pun Sinomadious
Proyek rekaman pertama Eet sebagai gitaris profesional adalah album "Pesta Reuni" milik Iwan Majid. Dalam album itu, Eet dihadirkan Iwan untuk mengisi sejumlah materi album. Selain Eet, Iwan kala itu juga mengajak Fariz RM. Penggarapan album yang berlangsung pada 1986 itu mengangkat nama Eet. Ia kemudian diminta mengisi posisi studio guitarist untuk sejumlah album rilisan musisi lain.
Meski menyebut album "Pesta Reuni" sebagai rekaman pertamanya, Eet mengatakan, lagu milik Fariz RM, Selamat Untukmu sebagai rilisan pertamanya. Memang, album "Pesta Reuni" yang digarap tahun '86 itu baru dirilis dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1988, hanya beberapa waktu setelah Selamat Untukmu dirilis dalam bentuk kompilasi album bertajuk "12 Bintang Idola".
"Pertama ngisi, ya. Bukan pertama rilis. Tapi, kalau pertama rilis, itu Selamat Untukmu, Fariz RM. Jadi, beberapa waktu kemudian (sejak "Pesta Reuni") gue ngisi-ngisi lagi, gitu kan. Malah dia ("12 Bintang Idola") yang duluan keluar," tutur Eet yang suaranya bersahut-sahutan dengan deru mesin sepeda motor yang lalu lalang di sekitar kami.
Dua rilisan itu lah yang kemudian jadi koleksi pertama Eet. Sejak itu, Eet mulai rutin mengoleksi karya-karya musik yang melibatkan perannya. Bentuknya macam-macam. Bisa berwujud kaset atau pun CD. Untuk album-album tua yang direkam di dalam kaset dan CD, Eet biasanya menyelamatkan materi audio ke dalam format MP3. Sayang, kala kami temui, segala koleksi itu masih ia timbun di dalam gudang.
"Itu sampai sekarang (koleksi). Ada yang bentuknya CD (untuk album-album rilisan baru). Banyak juga yang gue rekam dan jadiin MP3. Itu biasanya kaset-kaset. Kaset kan ada umurnya tuh, bro. Jadi, yang penting gue selamatkan dulu isinya (audio). Tapi, sayang bro gue enggak punya tempat yang representatif (untuk perlihatkan koleksi)," kata dia.
Penghormatan diri sendiri
Seperti yang telah disinggung di atas. Mengoleksi karya sendiri adalah cara Eet mengabadikan proses musikalitasnya. Bagi Eet, napak tilas menyelami jati dirinya sebagai musisi dapat dilakukan lewat mendengar ulang karya-karyanya. Tak ada yang lebih buruk atau lebih baik di antara karya Eet. Seluruhnya adalah proses.
Selain perkara romansa mengabadikan perjalanannya berkarya, Eet turut menyebut koleksi ini sebagai cara dia menghormati karya pribadinya. Bagaimana pun, sedikit narsisme barangkali memang penting bagi seorang seniman. Kebanggaan semacam ini, di mata Eet, hanya dapat tumbuh di dalam diri orang-orang yang menikmati proses berkaryanya.
Bersama God Bless, Eet ikut berkontribusi dalam dua album penuh bertajuk "Raksasa" rilisan 1989 dan "Apa Kabar?" yang dipublikasikan 1997. Dengan Edane, Eet lebih langgeng dan produktif. Setidaknya, ada enam album penuh yang digarap Eet bersama Edane: "The Beast" (1992), "Jabrik" (1994), "Borneo" (1996), "170 Volts" (2002), "Time to Rock" (2005), dan "Edan" (2010).
Selain segala album di atas, Eet terlibat dalam banyak proyek kolaborasi, baik yang melibatkan dirinya sebagai session player atau pun bintang tamu. Jumlahnya tak lagi mampu ia ingat. Namun, jika merujuk pada total koleksi yang ia punya, setidaknya ada lebih dari seratus lagu yang Eet kumpulkan. Terakhir, Eet terlibat sebagai bintang tamu dalam album Corvus Corvidae milik Kausa, proyek heavy rock Luks Superglad.
Dalam album rilisan Maret 2019 lalu, Eet mengisi lagu berjudul "Wacana dan Rencana". Boleh dibilang, Eet adalah salah satu musisi yang paling ringan tangan membantu musisi lainnya menelurkan karya. Hal ini penting bagi Eet. Membantu musisi lain adalah cara Eet mempelajari berbagai hal baru dalam musik, baik secara teknis maupun industri.