Jiwasraya - Asabri Bukti Inkonsistensi Penegakan Hukum, Investor Banyak Kabur
JAKARTA - Penegakan hukum dalam penyelesaian kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai bisa menggairahkan instrumen investasi di pasar modal. Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar mengamini dengan memberikan catatan khusus, yakni asalkan penegakan hukum tersebut dilakukan secara benar, konsisten dan tanpa disparitas.
"Kenyataannya, dalam proses penanganan Jiwasraya dan Asabri ada penyitaan yang diduga tidak tepat, tidak proporsional, tidak ada kaitan dengan kejahatan. Bahkan bila ditelusuri kembali, dari 124 emiten yang sahamnya dibeli oleh Jiwasraya hanya 2 diantaranya yang dianggap melakukan tindak pidana tanpa ada pemeriksaan terhadap yang lain," ujar Haris Azhar, Kamis 10 Juni.
Ia beralasan, pernyataan itu bukan tanpa sebab. Menurutnya terdapat aset yang akan dilakukan pelelangan karena disebutkan berpotensi rusak
"Karena penyidik tidak bisa mengelola atau tidak tahu cara menyikapi aset sitaan tersebut. Padahal aset tersebut tidak berkaitan dengan tindak pidana sebagaimana amanat Pasal 39. Penyidik mengatakan bahwa aset tersebut disita untuk uang pengganti, padahal Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor sudah menyebutkan dengan sangat jelas bahwa apabila dalam waktu satu bulan setelah inkracht terpidana tidak bisa membayar uang pengganti maka hartanya bisa disita. Artinya, penyitaan baru bisa dilakukan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap," kata dia.
Sedangkan dalam pasar modal, kata dia, pada kenyataannya sudah banyak (investor) yang "kabur" dari Indonesia, karena menganggap tidak ada kepastian penegakan hukum.
"Ini juga catatan bagi OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Kalau memang dianggap ada salah kelola terhadap dana asuransi atau para emiten tersebut ditengarai bermasalah di pasar modal, kenapa selama ini diam saja? Padahal asuransi dan pasar modal adalah ranah pengawasan OJK," ujar Haris lagi.
Menurutnya, pejabat dan pengamat jangan berpendapat dengan narasi umum saja, namun harus melihat praktik dan riilnya. Haris menilai bukan tidak mungkin kasus Jiwasraya ini akan menjadi template skandal di kancah pasar modal Indonesia di kemudian hari.
Senada, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar mengatakan bahwa sejatinya perkara pidana adalah mengadili perbuatan perorangan. Karena penyitaan aset hanyalah sebagai bukti penguat dalam sebuah tindak pidana.
Baca juga:
- Deretan Kasus Korupsi yang Sebabkan Kerugian Negara Terbesar
- Skandal Penanganan Kasus Jiwasraya, Lokataru: Ancaman Bagi Pasar Modal Indonesia
- Erick Thohir Bongkar Direksi Jiwasraya, Copot Hexana dari Dirut Digantikan Angger Yuwono
- Restrukturisasi Polis Nasabah Jiwasraya Tidak Mencapai 100 Persen, Erick: Kami Cari Solusi Terbaik
Menurutnya, jika aset itu berkaitan dengan kepentingan umum tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk menyitanya.
"Karena menyita itu untuk membuat barang bukti yang cukup dengan contoh atau sampel saja," ujar Fickar.
Fickar pun menilai jangan sampai Kejaksaan justru terkesan ingin menguasai aset-aset tersebut. Karena, kata dia, konteksnya hanya sekedar bukti saja, aset lainnya harus tetap jalan agar tidak merugikan kepentingan umum. Intinya, penegakan hukum tidak boleh menghancur ekonomi masyarakat.
Diketahui, Jiwasraya dinyatakan gagal bayar pada tahun 2018 silam. Penyidik Kejagung menilai berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun.
Kerugian tersebut berasal dari transaksi pembelian langsung atas empat saham, dan transaksi pembelian saham (indirect) melalui 21 Reksadana 13 Manajer Investasi yang diklaim dikendalikan oleh Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro.