Masalah Harga Sewa untuk Kabel Optik di Jakarta
JAKARTA - Masalah baru kembali dihadapi oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) usai pemotongan kabel fiber sepihak oleh Pemprov DKI. Kini, mereka resah dengan tingginya harga sewa jaringan Utilitas di bawah tanah.
Program ini merupakan salah satu kegiatan strategis daerah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies memandatkan pengerjaan penempatan kabel di bawah tanah kepada PD Sarana Jaya dan PT Jakarta Propertindo (JakPro) agar tak ada lagi kabel optik di atas tanah.
Harga sewa kabel optik baru dan pembuatan ducting (sistem saluran) terpadu. PD Sarana Jaya mematok sewa pembuatan ducting pada trotoar yang telah revitalisasi sebesar Rp700 ribu per meter per operator per satu ruas jalan.
Sementara, sewa pembuatan ducting terpadu pada trotoar yang belum direvitalisasi dipatok Rp600 ribu per meter per operator per satu ruas jalan.
Harga mahal juga dirasa pada sewa kabel. PT Jakpro menawarkan Rp70 ribu per meter per tahun per satu ruas jalan di Jakarta.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menganggap, sebelum membuat ducting dan menggenakan biaya, Pemprov DKI harusnya melibatkan pelaku usaha penyedia layanan publik dan penyelenggara telekomunikasi. Hal tersebut supaya menemukan titik kesepakatan angka yang tidak merugikan penyedia dan tidak terlalu murah.
"Jika harga terlalu mahal akan memberatkan perusahaan dan ujung-ujungnya biaya tersebut akan dibebankan ke masyarakat. Namun jika terlalu murah Pemprov juga tidak memiliki kemampuan untuk perawatan dan pengembangan duct di tempat lain dan ke depan," ujar Heru kepada wartawan, Selasa, 3 Desember.
Terpisah, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemenenterian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Ismail berharap Anies tidak mematok biaya sewa yang besar bagi perusahaan penyedia layanan publik.
Menurut, Ismail pola pikir Anies mengenai infrastruktur telekomunikasi keliru karena menjadikan infrastruktur telekomunikasi sebagai lumbung pendapatan asli daerah (PAD), dengan membebankan retribusi yang memberatkan kepada perusahaan.
Padahal, seharusnya sektor telekomunikasi dan penyedia layanan kepada masyarakat tidak dibebankan hal tersebut. Karena pendapatan yang diberikan oleh sektor lain dengan hadirinya infrastruktur Telekomunasi akan lebih besar dari retribusi.
"Akan banyak ekonomi yang akan memanfaatkan dari adanya jaringan broadband dan infrastrktur yang ada di Jakarta. Lima program prioritas Presiden Jokowi semuanya membutuhkan broadband," tutur Ismail.
"Nanti saya akan lapor kepada Pak Menkominfo mengenai permasalahan sewa tersebut. Semoga saja Omnibus Law bisa jadi solusi yang terbaik bagi pemerintah daerah dan penyedia infrastruktur publik," lanjut dia.
Terpisah, Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho menyatakan tarif sewa pelaksanaan pembuatan ducting bisa menjadi salah satu pendongkrak realisasi pendapatan asli daerah (PAD) sektor retribusi. Menurutnya, selama ini belum ada pungutan sewa, sehingga para pelaku utilitas sembarangan saja menempatkanya di udara.
Adapun, usulan tarif sewa tersebut, berkisar Rp13.000 atau Rp17.000, hingga Rp70.000 per meter per tahun per satu ruas jalan. Namun, Hari menjelaskan bahwa hal ini masih bisa dipertimbangkan dalam diskusi nanti.
"Itu pun perlu dijustifikasi dahulu. Jadi kalau dalam pembahasan hanya Rp15.000, ya kita putuskan segitu. Tapi kan belum diputuskan, masih banyak pertimbangan," ujar Hari saat dikonfirmasi.
Kasus bermula ketika Apjatel melakukan somasi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Dinas Bina Marga DKI atas pemotongan kabel serat optik secara sepihak di jalan Cikini Raya.
Awalnya, Anies mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 126 Tahun 2018 Tentang Penataan dan Penertiban Jaringan Utilitas pada 81 ruas jalan di DKI Jakarta. Instruksi itu keluar pada Desember 2018.
Sesuai Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1999, para operator jaringan seluler diberi waktu untuk menurunkan kabel serat optik yang sebelumnya dibentangkan di tiang untuk masuk ke dalam tanah, selambat-lambatnya sampai satu tahun sejak Ingub dikeluarkan. Artinya, Apjatel masih punya waktu sampai Desember 2019 untuk melakukan penataan kabel.
Kepala Dinas Bina Marga Hari Nugroho menjawab alasan Pemprov memotong kabel secara sepihak karena Apjatel tak memiliki izin pemasangan kabel di udara.
Dalam melakukan penindakan sepihak ini, Pemprov DKI berpegang dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Jaringan Utilitas.
Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa penempatan jaringan utilitas dapat dilakukan di bawah tanah, atas tanah, dan di dalam laut. Nah, penempatan di atas tanah dapat diperkenankan pada jalan layang, jembatan layang, lintas atas dan lintas bawah.
Kasus dibawa ke Ombudsman RI Perwakilan DKI Jakarta. baik Apjatel maupun Pemprov DKI sama-sama bersalah. Apjatel tak melaksanakan Pergub 195 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Jaringan Utilitas selama lima tahun. Karenanya, kabel optik gantung yang berada di Jalan Cikini Raya hingga Kemang menjadi tidak berizin.
Sementara, Pemprov DKI yang memotong kabel Utilitas secara sepihak juga bersalah karena tak kunjung menyediakan ducting dan mainhall untuk menyimpan kabel optik di bawah tanah.
Oleh karenanya, Ombudsman meminta kedua pihak membuat rencana kerja bersama terkait pemindahan utilitas udara sampai bulan Desember 2019, dan rencana kerja di 2020.