Perkenalkan Sistem Bikin SIM e-Drivers, yang Katanya Beda dari Tes Simulator SIM
JAKARTA - Proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dikeluhkan banyak kendala. Sebabnya sistem manual yang kuno bikin pemohon buang waktu yang banyak untuk dapat lisensi ini.
Masalah ini membuat Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya memunculkan sistem uji praktik berbasis komputer atau eletronic driving test system (e-Drivers). Dengan begitu, proses pembuatan SIM bisa jadi lebih cepat.
Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Yusuf mengatakan, sistem ini membuat pemohon dapat melaksanakan uji praktik SIM A dan C secara otomatis dan bersamaan. Ini yang diklaim bikin waktu pembuatan SIM jadi lebih cepat. Ditambah, sistem ini bikin proses penilaian jadi lebih transparan dan akuntabel.
"Dengan sistem ini diharapkan pemohon SIM akan benar-benar mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, profesional, modern dan terpercaya," ucap Yasuf dalam keteranganya, Minggu, 1 Desember.
Penerapan sistem e-Drivers, didahului dengan peserta mengikuti penyuluhan soal cara kerja serta proses penilaian. Lalu, dilanjutkan dengan uji praktik.
Untuk pemohon SIM C, sistem itu akan mencatat hasil uji praktik, mulai dari uji pengereman atau keseimbangan, uji zig zag, uji angka delapan, uji reaksi rem menghindar, dan uji berbalik arah membentuk huruf U atau U turn.
Sementara, pada uji praktik SIM A, sistem akan mencatat hasil uji maju dan mundur pada jalur sempit, zig zag maju mundur, parkir seri dan pararel serta berhenti di tanjakan dan turunan.
"Untuk SIM A dan C punya klasifikasi dan penilai yang berbeda," kata Yusuf.
Usai uji praktik, hasil pengujian dapat dilihat oleh penguji di lapangan yang terintegrasi melalui tablet dan layar monitor untuk ditunjuk kepada pemohon. Selanjutnya, data hasil akhir ujian diolah menjadi data statistik guna dijadikan laporan dan menentukan lulus atau tidaknya pemohonan mendapatkan lisensi berkendara.
"Dengan e-Drivers penilaian yang dilakukan oleh sistem menjadi lebih akurat dan transparan serta lebih memberikan kepastian hukum," kata Yusuf.
Yusuf mengklaim, sistem ini berbeda dengan simulator yang sempat ada beberapa tahun lalu. e-Drivers kata dia memiliki empat teknologi baru.
Pertama, Radio frequency identification (RFID) yang diletakkan pada kendaraan roda dua adalah sistem identifikasi nirkabel yang memungkinkan pengambilan data tanpa harus bersentuhan. Sehingga, ketika peserta melewati RFID radar maka secara otomatis data peserta akan tampil pada aplikasi ujian praktik SIM di ruang monitoring.
Kemudian, teknologi Passive Infrared atau cahaya infra merah pada garis awal (start) di garis akhir (finish). Teknologi itu berfungsi untuk mengetahui saat peserta mulai dan selesai pada masing-masing tahapan.
Ketiga adalah Vibration Sensor. Teknologi itu digunakan untuk mengetahui suatu getaran pada suatu benda. Sensor ini diletakkan dalam patok yang terpasang di samping lintasan, jika kendaraan bermotor menyenggol atau menabrak patok, maka vibration sensor akan aktif dan mengirimkan sinyal ke aplikasi uji praktik SIM pada komputer server di ruang monitoring sehingga penguji dapat mengetahui posisi dan jumlah patok yang tersenggol atau tertabrak.
Terakhir, teknologi Ultrasonik yang berfungsi mengeluarkan pancaran gelombang suara dengan frekuensi tinggi 20 Kilo Hertz, sensor ini diletakkan di pada tahapan tanjakan dan turunan uji praktik SIM A. Sehingga, ketika mobil berhenti pada posisi menanjak atau turunan sensor ultrasonik ini akan mengetahui posisi terakhir mobil.
Selain itu, jika terjadi reaksi mundur atau maju sebelum melanjutkan uji praktik tanjakan atau turunan, maka sensor ultrasonik dan sensor akan mengirimkan sinyal ke komputer server di ruang monitoring. Yang kemudian, para penguji dapat memberikan peringatan, aba-aba atau perintah dengan pengeras suara.
Tentang sistem ini, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio mengatakan, tak ada yang baru dari e-Drivers. Sebab di beberapa negara maju, sistem tersebut telah diterapkan beberapa tahun lalu.
Dia berharap sistem ini bisa segera diterapkan. Tujuannya untuk memudahkan para pemohon, dan bisa menghilangkan keberadaan calo.
"Di Indonesia telat dalam menerapkan sistem ini. Harusnya telah dilaksanakan dari dahulu,” kata Agus.