Kampus yang Membangun Pusat Riset di Bukit Algoritma dan Tantangan ke Depannya
YOGYAKARTA – Ketua Pelaksana PT Kiniku Bintang Raya, Budiman Sudjatmiko mengaku jika proyek Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat (Jabar) memiliki lokasi yang jauh dari universitas dan perguruan tinggi, namun beberapa kampus nantinya ikut terlibat di pusat pengembangan riset tersebut.
Mantan aktivis tahun 1998 tersebut menyebut jika akan menawarkan tanah seluas 25 km bagi tiap universitas yang ingin bergabung dan melakukan pengembangan di pusat riset Bukit Algoritma.
Perlu diketahui kini terdapat empat kampus yang menyetujui pembangunan Bukit Algoritma di Sukabumi. Kawasan riset yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley Indonesia tersebut melibatkan beberapa kampus berikut ini.
1. Institut Teknologi Bandung (ITB)
2. Universitas Padjadjaran (UNPAD)
3. Institut Pertanian Bogor (IPB)
4. Universitas asing yang tidak disebtu namanya
Tantangan Pembangunan Bukit Algoritma di Sukabumi
Terdapat tantangan dalam pembangunan Bukit Algoritma di Indonesia. Insitute of Development of Economics and Finance (INDEF) menjelaskan beberapa tantangan tersebut sebagai berikut.
1. R&D di Indonesia Masih Rendah
Dilansir dari Antara, Kepala Center of Innovation and Digital Economy INDEF, Nailul Huda menjelaskan jika ekosistem Research and Develompent (R&D) di Indonesia masih sangat rendah.
Nailul menjelaskan jika proporsi dana R&D terhadap PDB secara total masih kecil atau hanya 0,24 persen. Proporsi dana R&D terhadap PDB yang dihasilkan sektor bisnis swasta, menurutnya juga masih rendah yaitu hanya menyumbang 0,017 persen.
R&D yang rendan kemudian berdampak kepada ekspor manufaktur high-technology di Indonesia yang juga masih rendah.
Perlu diketahui, Bank Dunia tahun 2021 mencatat jika ekspor manufaktur high-tech di Indonesia hanya 8,1 persen, dan jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia (51,85%), Thailand (23,01%), dan Vietnam (40,44%).
“Padahal untuk membangun tempat yang khusus membangun teknologi, diperlukan industri high-tech yang menjamur di Indonesia,” terang Nailul.
2. Kurangnya Inovasi
Selanjutnya Nailul menjelaskan jika kurangnya inovasi di Indonesia menjadi tantangan khusu. Perlu diketahui ICOR Indonesia berada di angka 6.7, atau nomor empat terbawah jika dibandingkan negara-negara ASEAN.
Selain itu, kurangnya inovasi juga disebabkan oleh kebijakan pendorong R&D seperti tax allowance yang belum berdampak efektif
“Artinya modal yang masuk ke dalam negeri tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi atau bisa dibilang ongkos inovasi semakin mahal,” jelas Nailul.
3. Kurang SDM Kompeten
Berdasarkan data UNESCO, jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah yaitu 216 orang dari 1 juta penduduk. Ironisnya komposisi proporsi penduduk yang mampu mengoperasikan komputer dengan mahir, jumlahnya hanya 3,5 persen.
Kemudian berdasarkan survei Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) ada gap talenta antara penawaran dan permintaan tenaga kerja sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) khusus pekerjaan data, analisa, dan pemprogram di industri fintech.
Kekurangan SDM yang memadahi tersebut, membuat sekitar 36 persen perusahaan fintech memperkerjakan pekerja asing.
4. Timpangnya Sektor Digital
Ketimpangan digital di Indonesia dibuktikan ketika sektor TIK hanya dinikmati oleh kalangan tertentu dan hanya berpusat di Pulau Jawa (Jakarta dan Yogyakarta) sebagai pusatnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 50 persen rumah tangga di wilayah kota telah menikmati layanan internet, namun di desa hanya 26,56 persen.
Selain kampus yang membangun pusat riset di Bukit Algoritma dan tantangannya, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!