Mengabaikan Transportasi Umum Demi Program MBG adalah Ironi, Indonesia Emas 2045 Hanya Mimpi

JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus mendapat sorotan. Anggaran MBG yang sangat besar disebut-sebut memakan korban, termasuk anggaran transportasi umum.

Program MBG yang sudah berjalan sejak 6 Januari 2025 terus menuai kritik. Anggaran yang terbatas, hanya Rp71 triliun untuk tahun ini, yang sudah dirancang pemerintah diprediksi hanya akan mencukupi hingga Juni mendatang.

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menuturkan, butuh tambahan anggaran Rp140 triliun agar program MBG berjalan hingga akhir tahun ini. dengan kata lain, program ini bakal menelan biaya setidaknya Rp210 triliun.

Demi program MBG berjalan lancar, pemerintah disebut mesti menyunat anggaran dari program lain, di antaranya transportasi umum. Padahal transportasi umum tidak lagi hanya bicara soal kemacetan, tetapi juga berkorelasi dengan kemiskinan bahkan anak putus sekolah.

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menyesalkan adanya pemangkasan anggaran transportasi umum demi membiayai MBG.

Persiapan pelaksanaan program strategis nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. (ANTARA/Nirkomala)

“Transportasi umum yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat,” kata Djoko dalam keterangan yang diterima VOI.

“Di sejumlah wilayah di Jateng, sebagian anak harus putus sekolah lantaran angkutan umum sudah tidak tersedia di daerahnya. Angka putus sekolah meningkat yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pernikahan dini sekaligus meningkatkan kelahiran bayi stunting,” kata dia menambahkan.

Berkorelasi dengan Tingkat Kemiskinan

Di era sekarang ini, kata Djoko, transportasi umum bukan sekadar solusi kemacetan, tetapi memiliki korelasi besar dengan tingkat kemiskinan. Daerah-daerah miskin sering kali dihadapkan pada akses transportasi yang buruk, sehingga berbuntut memperburuk ketimpangan.

Yang disesali, anggaran transportasi umum malah ikut dikorbankan demi mendukung program MBG. Meski program ini memiliki tujuan mulia, tetapi kebijakan anggaran yang kurang selektif memunculkan dampak serius pada sektor lain yang juga krusial.

Kementerian Perhubungan sebelumnya mengalokasikan anggaran Rp437,9 miliar pada 2024 untuk program Buy The Service (BTS) di 11 kota dengan total 46 koridor.

Namun angka ini menyusut jadi Rp177,5 miliar untuk enam kota lama dan dua kota baru di tahun ini. Setiap kota menerima dana berbeda, mulai dari Rp8,7 miliar sampai Rp37,6 miliar. Tapi jumlah itu disebut jauh dari kata cukup untuk memenuhi anggaran masyarakat, terutama kaum miskin yang terpinggirkan.

Feeder LRT Musi Emas Koridor 1 dan 2 (Ist)

Kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai menganakemaskan MBG dan mengabaikan transportasi umum menurut Djoko Setijowarno adalah sebuah ironi mengingat ada target Indonesia Emas 2045 yang harus dicapai.

"Sungguh ironi, di tengah upaya pemerintah menginginkan Indonesia Maju dengan semangat menuju Indonesia Emas 2045, namun untuk urusan angkutan umum saja diabaikan,” kata Djoko dalam keterangan yang dterima VOI.

“Janji memberikan subsidi angkutan perkotaan dilupakan. Indonesia Emas 2045 hanya mimpi. Perlu dimengerti transportasi umum adalah satu indikator kota layak huni,” imbuhnya.

Keberadaan angkutan umum tidak hanya solusi untuk mengatasi kemacetan maupun mengurangi polusi udara. Di Indonesia, angkutan umum memiliki dampak lebih dari itu, menurut Djoko.

Pengaruhi Inflasi

Transportasi umum yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat. Ia mencontohkan sejumlah sejumlah wilayah di Jawa Tengah, sebagian anak harus putus sekolah lantaran angkutan umum sudah tidak tersedia di daerahnya.

Angka putus sekolah meningkat yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pernikahan dini sekaligus meningkatkan kelahiran bayi stunting.

Selain itu, ia khawatir rendahnya pelayanan angkutan umum perkotaan di tengah ketergantungan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi berpotensi makin mengurangi jumlah angkutan umum yang beroperasi.

“Pembiaran terhadap kondisi yang ada akan mempercepat hilangnya pelayanan angkutan umum. Intervensi Pemerintah diperlukan untuk menghindari kegagalan pasar layanan angkutan perkotaan," ujar Djoko menjelaskan.

Menurut catatannya, di Indonesia saat ini ada 552 pemerintah daerah yang terdiri dari 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 96 kota.

Rangkaian Light Rail Transit (LRT) melintas di atas Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/3/2021). (ANTARA/Nova Wahyudi/wsj/aa)

“Kalau sekarang baru 14 kota dibenahi, kapan akan terwujud angkutan umum di seluruh pemda dibenahi?” tegasnya.

Keberadaan angkutan umum juga menurut Djoko merupakan salah satu penentu inflasi. Makin baik angkutan umumnya, makin rendah tingkat inflasinya. Sebaliknya, daerah yang tidak memiliki angkutan umum maka inflasinya tinggi.

Di Palembang misalnya, program Angkot Feeder Musi Emas masuk dalam pengendalian inflasi dan kemiskinan ekstrem karena dengan ongkos gratis masyarakat sangat terbantu melakukan aktivitas sehari-hari.

Begitu pula dengan bus angkutan perintis di Kabupaten Kutai Kartanegara ada satu trayek dari Samarinda-Kembang Janggut Kabupaten Kukar dibuatkan SK Bupati Kab. Kutai Kartanegara untuk memperpanjang operasi dari Kembang Janggut–Tabang yang diberikan subsidi dengan bus yang sama sebesar Rp140 juta per tahun dan sudah berjalan 4 tahun.

"Operasional bus tersebut salah satu upaya Pemkab Kutai Kartanegara untuk pengendalian inflasi daerah, sehingga setiap tahun menyediakan anggaran," tegasnya.

Melihat perannya yang begitu besar, Djoko Setijowarno berharap pemerintah tidak mengurangi anggaran subsidi transportasi umum, dan justru sebaiknya ditambah.

“Supaya tujuan mewujudkan Indonesia Emas 2045 bukan hanya mimpi, namun akan menjadi kenyataan,” tandasnya.