Imlek 2025: Toleransi Bukan Sekadar Berucap Gong Xi Fa Cai
![Imlek 2025: Toleransi Bukan Sekadar Berucap Gong Xi Fa Cai](https://imgsrv2.voi.id/4KQFuhiFVS2hFdQqjDX51upeGNWmNTyeNHFjcmBFpqs/auto/1280/853/sm/1/bG9jYWw6Ly8vcHVibGlzaGVycy80NTU1MDkvMjAyNTAxMzAwMDM3LW1haW4uY3JvcHBlZF8xNzM4MTcyMjU4LmpwZWc.jpg)
JAKARTA – Hari Raya Imlek yang dirayakan secara terbuka selama lebih dari dua dekade ke belakang disebut sebagai bentuk toleransi terhadap etnis Tionghoa. Namun demikian, banyak kalangan menyebut toleransi di Indonesia terus diuji.
Adalah Presiden Keempat Abdurrahman Wahid atau yang karib disapa Gus Dur yang akhirnya mengizinkan perayaan Imlek atau tahun umat etnis Tiongkok secara terbuka. Ia mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat Soeharto. Bunyi Inpres itu adalah “Segala wujud budaya dan tradisi Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek, pertunjukan wayang potehi, barongsai dan sebagainya hanya boleh dirayakan di kalangan keluarga di dalam rumah atau kelenteng.”
Gus Dur kemudian mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Dengan begitu, masyarakat keturunan Tionghoa yang selama hampir 30 tahun kebebasannya dibatasi oleh pemerintahan Orde Baru jadi merdeka.
Orde Reformasi menggunakan prinsip koeksistensi etnis dalam memandang persamaan hak setiap warga negara Indonesia sehingga ketentuan yang bersifat diskriminatif pada Orde Baru banyak tercabut.
Menyelaraskan Harmoni dan Hak Warga
Meski demikian, toleransi di Indonesia masih menjadi masalah yang kerap berulang. Pada Desember 2024, Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat melarang kegiatan tahunan Jalsah Salanah jemaah Ahmadiyah.
Acara tersebut rencananya dihadiri 1.000 peserta selama tiga hari. Persiapannya juga dilakukan sejak jauh-jauh hari, termasuk mengirim surat pemberitahuan ke pemerintah kabupaten, pemerintah desa, dan kepolisian setempat.
Namun acara batal diselenggarakan. Saat itu Penjabat Bupati Kuningan Agus Toyib menuturkan keputusan melarang demi menjaga keamanan di wilayahnya.
“Setelah melakukan rapat koordinasi dan dengar pendapat bersama seluruh Forkopimda, hadir juga perwakilan dari organisasi keagamaan dan tokoh masyarakat, dengan alasan keamanan dan kondusifitas wilayah Kabupaten Kuningan,” demikian pernyataan Toyib, dilansir kuningankab.go.id.
"Dengan ini secara resmi kami Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak mengizinkan dan melarang kegiatan Jalsah Salanah yang diselenggarakan oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor Kecamatan Jalaksana, baik secara internal [lokal] maupun dari wilayah lain di Iuar Kuningan," Toyib menambahkan.
![](/storage/publishers/455509/imlek-2025-gong-xi-fa-cai-bangsa-indonesia-belum-toleran.jpeg)
Ini bukan pertama kalinya kegiatan jemaah Ahmadiyah dilarang. Mulai dari penyegelan masjid, sampai aksi persekusi sering kali mewarnai pembertaan media massa.
Saat peristiwa larangan Jalsah Salanah akhir tahun lalu kembali menjadi perhatian, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, kebebasan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dijamin oleh konstitusi.
“Menjaga harmoni ini jangan dibenturkan dengan pemenuhan hak warga. Seharusnya tidak demikian, karena pemenuhan hak tidak kalah penting,” tegas Menteri Agama periode 2014-2019 ini, terkait alasan pelarangan karena menjaga keamanan dan kondusifitas.
Ia juga menyoroti perlunya pemerintah mengayomi dan melayani masyarakat, demikian juga dengan polisi sehingga tidak ada hak-hak masyarakat yang diabaikan.
“Jadi sebaiknya dua-duanya diselaraskan, yaitu harmoni dan hak-hak warga, jangan dibenturkan. Jangan sampai timbul kesan yang satu dipenuhi harmoninya, tapi dengan cara memasung hak-hak masyarakat,” ucap Lukman Hakim.
Melanggengkan Intoleransi
Larangan kegiatan Ahmadiyah terkesan “dilindungi” oleh negara, di antaranya melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia. SKB tiga menteri itu berisi larangan bagi pengikut Ahmadiyah untuk menyebarkan agamanya ataupun melakukan kegiatan keagamaan.
Selanjutnya, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Peraturan gubernur ini berisi larangan bagi penganut, anggota, dan atau pengurus Ahmadiyah melakukan aktivitas atau kegiatan dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran.
Setara Institute, organisasi nonpemerintah di bidang hak asasi manusia, mencatat jemaah Ahmadiyah merupakan kelompok minioritas yang mengalami peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan paling banyak di Indonesia. Selama periode 2007-2020, ada 570 peristiwa kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah.
Sejumlah pejabat utama wilayah Kabupaten Tangerang saat melakukan koordinasi mengenai kasus pembubaran jemaat gereja di Tangerang (ANTARA/HO-Polres Metro Tangerang)
Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan keberadaan SKB tiga menteri tersebut justru melanggengkan intoleransi terhadap pengikut Ahmadiyah. Selain itu, fatwa MUI yang terbit pada 2005 juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berakibat timbulnya perlakuan diskriminasi terhadap pengikut Ahmadiyah.
Diketahui, fatwa MUI yang diteken oleh Ketua Komisi Fatwa MUI periode 2001-2007 Ma’ruf Amin itu mengatakan Jemaah Ahmadiyah dianggap ajaran menyimpang 'di luar Islam' yang harus dibubarkan oleh pemerintah. Perbedaan teologi antara Ahmadiyah dan Islam tidak dapat ditoleransi.
Untuk itu, kata Ikhsan solusi mengatasi berbagai bentuk diskriminasi agama adalah mencabut semua produk hukum yang diskriminatif. Ia menekankan pengambilan kebijakan dan pembuatan produk hukum tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Produk hukum dan kebijakan pemerintah harus selalu berpegang pada prinsip kebebasan beragama serta nilai-nilai hak asasi manusia.
Toleransi Masih Bermasalah
Kasus intoleransi tidak hanya dialami jemaah Ahmadiyah. Pada Mei di tahun yang sama, potret buruk toleransi juga terjadi di Tangerang Selatan. Sekelompok warga di Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Tangsel, membubarkan ibadah Doa Rosario belasan mahasiswa Katolik Universitas Pamulang.
Pembubaran tersebut juga berujung pada penyerangan dan penganiayaan terhadap para mahasiswa. Bahkan, seorang mahasiswi terluka akibat sabetan senjata tajam. Maraknya kasus intoleransi menunjukkan negara belum bisa menjamin kebebasan beragama dan beribadah warganya yang dilindungi konstitusi.
Kasus intoleransi yang berulang di Tanah Air tidak bisa dianggap remeh. Letupan-letupan kecil berisiko memicu konflik yang meluas, karena itulah negara mesti hadir melindungi warganya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027 Abdul Mu’ti menilai konstruksi toleransi antar umat beragama di Indonesia masih bermasalah. Uniknya, menurut dia, masalah itu terjadi lebih besar di antara sesama agama.
“Menurut saya memang masih menjadi catatan khususnya terkait dengan konstruksi kerukunan di Indonesia ini sesungguhnya belum cukup kokoh. Ini satu hal yang saya kira memang secara jujur harus kita akui seperti itu,” kata Abdul Mu’ti, dikutip laman Muhammadiyah.
Tak hanya kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, kelompok keagamaan seperti Muhammadiyah pun pernah menjadi korban aksi intoleran, seperti pendirian tempat ibadah. Abdul Mu’ti menceritakan kasus masjid di Bireun, Aceh, yang dirusak.
Baca juga:
- Kampanye No Buy Challenge 2025 adalah Kritik terhadap Budaya Konsumerisme
- Pro Kontra Patwal RI 36: Pejabat Indonesia Gunakan Transportasi Publik Nyaris Mustahil
- Pantauan Netray: Misteri Dalang Pembuat Pagar Laut dan Keberadaan HGB Dipertanyakan Warganet
- Akses Transportasi Publik Bisa jadi Kunci Program Tiga Juta Rumah Setahun
Belum terbangunnya toleransi otentik di antara umat beragama di Indonesia diharapkan Abdul Mu’ti menjadi perhatian para pemuka agama dan pemerintah untuk menguatkan pemahaman moderat dan inklusif.
“Dalam konteks kita membangun kehidupan beragama yang harmonis dan konstruksi kerukunan yang lebih kuat dalam konteks kita membangun kerukunan yang sejati itu memang masih membutuhkan waktu dan membutuhkan kerja yang secara bersama-sama yang harus kita lakukan lebih sungguh-sungguh lagi,” pungkas Abdul Mu'ti, yang kini juga menjabat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.