Akses Transportasi Publik Bisa jadi Kunci Program Tiga Juta Rumah Setahun
![Akses Transportasi Publik Bisa jadi Kunci Program Tiga Juta Rumah Setahun](https://imgsrv2.voi.id/efv8fcdlHg7l3o9irWDGOT-wZg6of6TCjQjRTkr9IgI/auto/1280/853/sm/1/bG9jYWw6Ly8vcHVibGlzaGVycy80NTQ3NTcvMjAyNTAxMjUxMTI2LW1haW4uanBlZw.jpg)
JAKARTA – Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Yoga menyoroti program pembangunan tiga juta rumah milik Presiden Prabowo. Sistem transportasi yang memadai harus menjadi salah satu syarat menentukan lokasi hunian dalam program ini.
Pembangunan tiga juta rumah untuk masyarakat kelas merupakan slah satu program prioritas yang dijanjikan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Program ini bertujuan mengatasi permasalahan kekurangan rumah yang saat ini mencapai 12,7 juta rumah.
Lewat program tersebut, pemerintah akan membangun satu juta rumah di perkotaan dan dua juta rumah di pedesaan. Fokusnya adalah untuk orang-orang berpendapatan di bawah Rp8 juta per bulan alias yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Prabowo ingin warganya, baik yang memiliki penghasilan tetap atau tidak tetap, bisa memiliki tempat tinggal sendiri.
![](/storage/publishers/454757/akses-transportasi-publik-bisa-jadi-kunci-program-tiga-juta-rumah-setahun.jpeg)
Nirwono Yoga mengingatkan Prabowo soal pentingnya akses transportasi di wilayah-wilayah yang akan dibangun program tiga juta rumah. Sementara itu konsultan properti Anton Sitorus mengatakan pemerintah harus realistis dengan program ini.
Butuh Rencana Induk yang Jelas
Pengamat Tata Kota, Nirwono Yoga menekankan pentingnya penyusunan rencana induk yang jelas dan terperinci sebelum memulai proyek pembangunan tiga juta unit rumah.
"Langkah pertama yang harus dilakukan oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah menyusun rencana induk pembangunan tiga juta rumah. Dalam rencana tersebut, dua juta unit direncanakan di perdesaan dan satu juta di perkotaan," ujar Nirwono.
"Perlu adanya pemetaan lokasi spesifik di berbagai wilayah, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, dan Bali, agar kebutuhan perumahan di setiap daerah dapat terpenuhi," tambahnya.
Dengan pemetaan lokasi yang jelas, pemerintah pusat, daerah, dan para pengembang akan lebih mudah menentukan lokasi pembangunan rumah yang sesuai dengan kemampuan anggaran serta ketersediaan lahan di masing-masing daerah.
Tanpa rencana induk, kata Nirwono, pembangunan akan sulit dilakukan karena tanggung jawab anggaran tidak hanya di pusat, tetapi juga melibatkan pemerintah daerah dan pihak pengembang.
"Misalnya, dari dua juta rumah yang dibangun di pedesaan, harus jelas wilayah mana di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, atau Bali yang akan menjadi lokasi pembangunan. Begitu pula untuk satu juta rumah di perkotaan, harus dipetakan kawasan-kawasan spesifiknya," jelasnya.
Hal lain yang tak kalah penting yang mesti diperhatikan Prabowo adalah soal akses transportasi publik di wilayah pemukiman yang baru ini. Transportasi, kata Yoga, merupakan kebutuhan dasar dan wajib bagi setiap individu. Karena itu, untuk menjadi salah satu faktor keberhasilan program tiga juta rumah setahun dibutuhkan transportasi publik yang terintegrasi.
“Lokasi rumah itu enggak asal menunjuk lahan, tapi tolong perhatikan apakah ada infrastruktur jalannya, apakah itu terhubung dengan transportasi massal, sehingga nanti penduduk bisa didorong untuk naik transportasi massal,” kata Nirwono dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Hadirnya transportasi publik yang terintegrasi dapat menjadi alasan bagi masyarakat mau menghuni rumah yang akan dibangun. Sebaliknya, kalau tidak terintegrasi dengan transportasi publik, bisa dipastikan rumah-rumah yang dibangun tidak akan banyak dihuni oleh warga.
“Harus diingatkan kembali bahwa dalam rencana ini, pengembangan rumah tiga juta unit tadi harus memasukkan sistem transportasi sebagai salah satu syarat penentuan lokasi,” jelasnya.
Bayang-Bayang Kegagalan di Masa Lalu
Sementara itu, konsultan properti Anton Sitoru pesimistis program ini bakal terealisasi. Ia berkaca dari pengalaman pemerintahan Joko Widodo yang memiliki program satu juta unit rumah per tahun, namun belakangan tidak memenuhi target.
Anton bahkan menyebut ini adalah “program yang mengada-ada”.
Realisasi pembangunan satu juta rumah per tahun di era Jokowi tidak terpenuhi di masa-masa awal pemerintahan. Pada 2015 misalnya, hanya 699.770 unit yang terbangun, kemudian pada 2016 sebanyak 805.169 unit, 2017 sebanyak 904.758 unit.
Program Jokowi baru memenuhi target pada 2018 dengan 1,132,621 unit, 2019 1.257.852 unit. Namun pandemi di 2020, jumlah yang terbangun 965.217 unit rumah. Pada 2021 terbangun 1.105.707 unit, 2022 terbangun 1.117.491 unit, sementara pada 2023 terbangun 1.217.794 unit.
Baca juga:
- Sengkarut Masalah Transportasi Darat Bisa Mengancam Target Pertumbuhan Ekonomi Delapan Persen
- Kasus Menteri Satryo Brodjonegoro: Sikap Arogan Pimpinan Terhadap Bawahan Bukti Sikap Feodal Masih Dilanggengkan
- Donald Trump Kembali Berkuasa, Indonesia Gabung BRICS adalah Blunder?
- Tren Berburu Koin Jagat adalah Masalah Struktural, Bukan Sekadar Perusakan Fasilitas Umum
Terakhir, pada 2024 sampai akhir pemerintahan Jokowi di bulan Oktober ada 947.485 unit yang terbangun.
"Daripada pemerintah capek-capek ngomong tiga juta, tiga juta itu jadi kayak slogan-slogan yang nantinya mungkin jadi slogan kosong. Ya sudah, enggak usah muluk-muluk," kata Anton.
Selain itu, Anton juga mengungkit program 1000 gedung rumah susun sederhana milik (rusunami) di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dikabarkan media, proyek itu banyak yang mangkrak.
“Program 1000 tower gitu, ‘ke laut’ kan," kata Anton.