Jokowi Jawab Keraguan Publik Terkait Komitmen Antikorupsi
JAKARTA - Komitmen Presiden Joko Widodo terkait antikorupsi dipertanyakan setelah dia memberikan grasi terhadap Annas Maamun yang merupakan terpidana kasus suap alih fungsi hutan di Riau. Menjawab hal tersebut, Jokowi mengatakan grasi terhadap koruptor ini baru diberikannya sebanyak satu kali.
"Kalau setiap hari kita keluarkan grasi untuk koruptor, setiap hari atau setiap bulan itu baru dikomentari. Silakan dikomentari. Ini kan (tidak melanjutkan pernyataannya)," kata Jokowi kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu, 27 November.
Mantan Gubernur DKI Jakarta kemudian mempersilakan publik untuk mengecek, berapa banyak yang mengajukan grasi kepada dirinya dan berapa permohonan yang dikabulkannya.
"Coba di cek berapa yang mengajukan, berapa ratus yang mengajukan dalam satu tahun, yang dikabulkan berapa? Dicek betul," tegasnya.
Jokowi lantas memaparkan, sebelum memberikan grasi terhadap Annas Maamun, dia telah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung dan Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Tak hanya itu, pertimbangan pemberian grasi itu juga melihat kondisi kesehatan Annas dan usianya.
"Memang dari sisi kemanusiaan, memang umurnya juga sudah uzur dan sakit-sakitan terus. Sehingga dari kacamata kemanusiaan itu diberikan," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memberikan grasi pada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan yang sekaligus mantan Gubernur Riau, Annas Maamun. Annas dihukum pidana selama tujuh tahun akibat kasus korupsi di sektor kehutanan, yaitu dugaan suap revisi alih fungsi hutan di Riau.
Atas pemberian grasi tersebut, Annas yang sedianya dipidana selama tujuh tahun kini masa tahanannya dipotong selama setahun sesuai Keputusan Presiden nomor 23/G tahun 2019 tentang pemberian grasi.
Pemberian grasi ini kemudian berpolemik. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana kemudian memberi kritik keras pada Jokowi. Dia melihat, komitmen Jokowi terkait antikorupsi tak jelas. Sehingga ke depan sikap semacam ini harusnya mulai bisa dimaklumi oleh publik.
"Sikap dari Presiden Joko Widodo ini mesti dimaklumi, karena sedari awal Presiden memang sama sekali tidak memiliki komitmen antikorupsi yang jelas. Jadi jika selama ini publik mendengar narasi antikorupsi yang diucapkan oleh presiden, itu hanya omong kosong belaka," ungkap Kurnia lewat keterangan tertulisnya, Rabu, 27 November.
Penilaian soal komitmen tak jelas Jokowi terkait sikap antikorupsi ini, kata Kurnia bukan tanpa bukti. Dia menjelaskan, di tahun 2019, tercatat ada tiga keputusan yang diambil oleh mantan Wali Kota Solo dan bertentangan dengan semangat antikorupsi. Pertama, Jokowi merestui dipilihnya pimpinan KPK dengan rekam jejak buruk.
Kedua, Jokowi nyatanya merestui revisi UU KPK yang melemahkan oleh DPR dan ingkar janji untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU KPK atau Perpu KPK.