Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 8 Persen Asalkan Reformasi Struktural Benar-benar Dilakukan

JAKARTA - Chief India and Indonesia Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari mengatakan, Indonesia perlu benar-benar melakukan reformasi struktural agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dapat tercapai.

Untuk mencapai target yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto tersebut, ia mengakui bahwa hal ini merupakan tugas yang cukup berat bagi Indonesia. Oleh sebab itu, menurut dia, tidak cukup apabila hanya mengandalkan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter saja seperti biasanya.

“Tidak cukup hanya kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Stimulus saja tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ke tingkat tersebut. Menurut saya, reformasi struktural diperlukan, terutama dalam meningkatkan rantai nilai manufaktur. Lebih banyak hilirisasi,” kata Pranjul dalam media briefing secara hybrid, di Jakarta, dikutip Antara, Jumat 10 Januari.

Pranjul menilai, Indonesia sejauh ini telah berhasil dengan meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri melalui hilirisasi industri seperti hilirisasi logam. Namun, ia juga mengingatkan agar Indonesia terus bergerak lebih jauh seperti masuk ke dalam rantai nilai global untuk produk baterai kendaraan listrik dan kendaraan listrik itu sendiri. Kemudian, ekspor produk-produk yang lebih beragam juga diperlukan.

“Hal itu benar-benar perlu ditingkatkan. Jadi, Indonesia benar-benar perlu melakukan diversifikasi dan juga naik ke rantai nilai manufaktur. Menurut saya, itu akan menjadi penting jika ingin mendekati pertumbuhan 8 persen,” kata dia lagi.

Pranjul memandang, Indonesia memiliki peluang misalnya untuk meningkatkan ekspor barang habis pakai (consumables) ke Amerika Serikat (AS). Apalagi, menurut dia, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS tidak begitu signifikan sehingga kecil kemungkinan berhadapan dengan ancaman tarif Donald Trump.

“Menurut saya, ada banyak peluang yang terbuka. Tetapi Indonesia harus menyiapkan ‘panggungnya’ dengan benar dengan beberapa hal yang harus dilakukan, misalnya infrastruktur yang lebih baik dan menambah lebih banyak tenaga kerja terampil,” kata dia.

Yang lebih penting dari itu, ujar Pranjul, Indonesia perlu mengakselerasi lebih banyak perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dan perjanjian bilateral dengan negara-negara maju. Hal ini akan membantu Indonesia dalam jangka menengah untuk meningkatkan ekspor yang beragam serta meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi.

Terkait Indonesia yang resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), Pranjul menilai bahwa partisipasi Indonesia ini penting untuk peluang ekonomi dalam jangka menengah.

Namun, menurutnya, selama ini banyak negara anggota BRICS yang belum benar-benar memaksimalkan peluang kerja sama. Apabila peluang ini dapat dimaksimalkan melalui perjanjian perdagangan di antara negara anggora, maka keanggotaan BRICS ini menjadi langkah yang baik untuk meningkatkan ekspor bagi Indonesia dan meningkatkan pertumbuhan PDB riil Indonesia seiring berjalannya waktu.

Adapun HSBC memproyeksikan pertumbuhan PDB dunia pada tahun ini kemungkinan sama seperti tahun sebelumnya, yakni sekitar 2,7 persen. Pertumbuhan ekonomi di Asia, di luar Jepang, diperkirakan tetap tangguh pada kisaran 4,4 persen pada 2025.

Sementara pertumbuhan ekonomi di enam besar negara anggota ASEAN (ASEAN-6) diperkirakan akan mencapai 4,8 persen pada tahun ini. Dengan ketidakpastian global yang masih berlangsung, HSBC memperkirakan ekonomi Indonesia dapat tumbuh 5,1 persen pada 2025.