Polemik Denda Damai, Menteri Hukum: Pemerintah Tak Bermaksud Membebaskan Pelaku Pidana
JAKARTA - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, merespons soal polemik amnesti yang mencuat belakangan ini. Termasuk mengenai denda damai koruptor usai pernyataan Presiden Prabowo Subianto akan memaafkan pelaku korupsi asal mengembalikan uang yang dicurinya.
Supratman mengatakan, pemerintah Indonesia tidak bermaksud untuk serta merta membebaskan pelaku tindak pidana, termasuk koruptor.
“Yang harus dimengerti oleh kita semua adalah pemerintah tidak bermaksud menggunakan amnesti, grasi, abolisi, untuk sekadar membebaskan para pelaku tindak pidana. Sama sekali tidak,” ujar Supratman di gedung Kementerian Hukum (Kemenkum), Jumat, 27 Desember.
Supratman menyebut, sistem hukum Indonesia memungkinkan adanya mekanisme pengampunan terhadap pelaku tindak pidana apa pun. Namun, kata dia, tidak berarti pemerintah pasti memberikan pengampunan tersebut.
Ia menjelaskan berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Contoh lainnya adalah dalam Pasal 53k Undang-undang Nomor 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi.
“Sebagai perbandingan, kami memberikan contoh bahwa memang Undang-undang yang ada di Indonesia mengatur pemberian pengampunan. Tapi sekali lagi, tidak serta merta dilakukan untuk membebaskan pelaku tindak pidana, apalagi koruptor,” jelas Supratman.
Terkait dengan hal yang sedang ramai saat ini, Supratman mengatakan, pemerintah pernah menggunakan mekanisme pengampunan atas tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian atau keuangan negara, yaitu dalam bentuk tax amnesty atau pengampunan pajak yang telah dilakukan sebanyak dua kali.
Saat ini pemerintah tengah menyiapkan aturan tentang mekanisme pengampunan kepada pelaku tindak pidana. Kabinet kerja masih menunggu arahan selanjutnya dari Presiden Prabowo.
“Kita butuh regulasi terkait amnesti, grasi, dan abolisi untuk mengatur mekanisme pemberian pengampunan. Kita masih menunggu arahan Bapak Presiden,” ujar dia.
Supratman juga menyebut, Presiden Prabowo dalam menjalankan kewenangan yang diatur konstitusi tidak melanggar pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Karena Presiden pasti memberikan amnesti, grasi, abolisi, atau metode pengampunan apa pun akan mengikuti aturan teknis yang berlaku," pungkasnya.