Target 60 Persen Warga Jakarta Tak Gunakan Kendaraan Pribadi, Transportasi Publik Seharusnya Diperbanyak Bukan Dihapus
JAKARTA – Menjelang berakhirnya 2024, warga Indonesia kembali dihebohkan dengan pernyataan pejabat yang merencanakan penghapusan koridor satu Transjakarta pada 2029. Padahal, Jakarta memiliki target 60 persen warganya menggunakan transportasi umum pada 2030.
Wacana penghapusan Transjakarta koridor 1 Blok M-Kota jika MRT Lebak Bulus-Kota sudah rampung dituturkan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta Syafrin Liputo. Alasannya, supaya untuk mengurangi tumpang-tindih layanan di rute yang sama.
“Terkait dengan perencanaan untuk tumpang-tindih layanan memang sudah masuk juga dalam rencana induk transportasi Jakarta, bahwa contohnya untuk MRT Lebak Bulus sampai Kota terbangun,” kata Syafrin.
“Maka untuk layanan koridor 1 Transjakarta dari Blok M sampai dengan Kota ditiadakan,” imbuhnya.
Pengamat transportasi Ki Darmaningtyas menyebut rencana penghapusan koridor 1 Transjakarta yang dilontarkan Kepala Dishub Jakarta Syarin adalah ide konyol. Opini serupa juga dilontarkan Ketua Bidang Perkerataapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana juga menyayangkan wacana tersebut karena Jakarta memiliki target 60 persen masyarakatnya menggunakan angkutan umum di 2030.
Andalan Masyarakat Jakarta
Bagi warga Jakarta, layanan Transjakarta merupakan salah satu moda transportasi andalan masyarakat selama dua dekade terakhir. Ide pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) sebenarnya sudah muncul sejak 2001. Namun realisasinya baru dapat dilakukan tiga tahun kemudian.
Transjakarta resmi menjadi transportasi publik DKI Jakarta sejak 1 Februari 2004. Kehadiran bus ini dianggap sebagai solusi dan mengubah wajah transportasi umum di Ibu Kota.
Untuk koridor satu rute Blok M-Kota terbentang sepanjang 12,9 kilometer diluncurkan pertama pada 15 Januari 2004. Ini sekaligus menjadi koridor tertua yang dimiliki Transjakarta.
Di awal kemunculannya, tarif Transjakarta hanya Rp2.000, sebelum pada 2012 Dishub Jakarta memutuskan menaikkan tarif tersebut menjadi Rp3.500. Harga ini belum berubah sampai sekarang.
Tapi kini keberadaan koridor tertua Transjakarta terancam, menyusul wacana Dishub Jakarta menghapus rute Blok M-Kota pada 2029 ketika proyek MRT fase dua rampung. Kedua moda transpvrtasi ini akan berjalan bersinggungan karena memiliki rute yang sama.
Wacana ini tentu menuai penolakan dari berbagai kalangan. MRT dan Transjakarta memiliki karakteristik berbeda, mulai sosial ekonomi sampai karakter jaringan. Dari segi ekonomi, tarif Transjakarta yang hanya Rp3.500 jauh lebih murah dibandingkan MRT yang mematok harga Rp14.000 untuk rute Lebak Bulus-Bunderan HI.
Aditya Dwi Laksana dari MTI menyayangkan gagasan yang diungkap Kepala Dishub Jakarta Syafrin Liputo. Menurutnya, Transjakarta rute Blok M-Kota tak perlu dihapus hanya supaya MRT lebih laku atau mengurangi subsidi pemerintah provinsi.
Alasannya, kata Aditya, Transjakarta memiliki jaringan lebih luas dibandingkan MRT karena sudah transit antarkoridor dan non-koridor. Selain itu, tarif Tranjakarta juga lebih terjangkau ketimbang MRT.
Baca juga:
- Wacara Penghapusan Transjakarta Koridor Satu adalah Kekonyolan Tak Terampuni
- Melihat Sisi Gelap Pariwisata Bali, Warga Lokal Kesulitan Beli Tanah
- Analisis Netray: Keputusan PPN 12 Persen untuk Barang dan Jasa Mewah Didominasi Reaksi Negatif Publik
- Water Birth Tak Direkomendasikan di Indonesia, Ada Bahaya untuk Ibu dan Bayi
“Masyarakat masih butuh tarif terjangkau, berikutnya kan pergerakan masyarakat akan meningkat dari tahun ke tahun, sehingga malah seharusnya jumlah, jenis, dan kapasitas angkutan umumnya ditambah, dan bukan dikurangi,” kata Aditya saat dihubungi VOI.
“Misalnya, saya untuk perjalanan dekat dan atau pindah-pindah koridor Transjakarta yang lain, ya saya masih memilih naik TJ dibandingkan MRT. Contohnya seperti itu,” lanjut Aditya.
Halte Koridor Satu Terbengkalai
Pemerintah bakal melanjutkan proyek MRT fase tiga dari timur ke barat, yatu dari Cikarang, Jawa Barat, hingga ke Balaraja, Banten. Rute ini membentang sepanjang 84 km, dan melewati wilayah Jakarta sepanjang 33,7 km.
Melihat rencana pembangunan MRT yang akan semakin tersebar ke sejumlah wilayah, Aditya merasa alih-alih menghapus rute Transjakarta, justru seharusnya memperbanyak angkutan umum “pengumpan”. Ini juga dilakukan demi mewujudkan target memindahkan masyarakat pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum.
“Justru kalau ada MRT utara-selatan Ancol-Lebakbulus, dan juga timur barat Cikarang-Balaraja full, justru malah perlu TJ untuk angkutan pengumpannya meski ada jalur operasi yang berhimpitan, kan targetnya 60 persen masyarakat pakai angkutan umum di 2030,” Aditya menjelaskan.
Aditya juga mengatakan Indonesia seharusnya bisa mencontoh negara lain seperti Hong Kong yang memiliki berbagai jenis angkutan umum meski rutenya berhimpitan antara MRT dan trem serta bus kota.
“Karena masing-masing moda memiliki segmen pengguna sendiri sesuai kebutuhan. Selain itu, ini juga untuk memperbesar kapasitas angkutan umumnya,” ujar Aditya lagi.
Selain itu, Aditya juga merasa khawatir halte-halte sepanjang koridor satu menjadi terbengkalai padahal baru saja direvitalisasi besar-besaran dengan dana investasi yang besar serta dijadikan area komersial, seperti Thamrin, Bundaran HI, Tosari, Dukuh Atas.
“Apa iya mau dihapuskan?” tegas Aditya.
“Karakter MRT dan BRT itu berbeda dalam hal keterjangkauan tarif, fleksibilitas akses, konektivitas moda, sehingga seharusnya BRT di koridor yang berhimpitan tidak perlu dihapuskan, apalagi bila niatnya adalah menambah kapasitas angkutan umum dan memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum,” lanjutnya.
Belajar dari LRT
Di sisi lain, pengamat transportasi Ki Darmaningtyas mengajak Kadishub Jakarta Syafrin Liputo belajar dari pengoperasian Light Rail Transit atau LRT Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek).
Sebelum diresmikan beroperasi oleh Presiden Joko Widodo pada 28 Agustus 2023, muncul kekhawatiran potensi pelanggan Transjakarta akan berkurang karena mereka pindah ke LRT Jabodebek. Begitu pula ketika LRT memberlakukan tarif promosi di awal beroperasi.
Tapi ternyata semua kekhawatiran tadi keliru besar, karena yang terjadi justru sebaliknya. Di sejumlah halte Transjakarta yang terintegrasi dengan stasiun LRT justru mengalami peningkatan pelanggan jumlahnya total mencapai di atas 2.000 orang setiap harinya.
“Mengapa begitu? Ya karena orang bertransportasi itu memerlukan konektivitas. Oleh karena itulah, yang harus dikawal oleh Dshub DKI Jakarta dalam Pembangunan MRT tahap kedua ini adalah bagaimana agar stasiun-stasiunnya terintegrasi dengan layanan angkutan umum lainnya, termasuk dengan TJ Koridor satu,” ucap Darmaningtyas.
“Kalau yang muncul justru membunuh layanan yang sudah ada, maka berarti tidak muncul pemikiran integrasi layanan antara MRT dengan TJ Koridor satu maupun lainnnya,” lanjutnya.
Damaningtyas menyarankan, selagi masih ada waktu tiga tahun (2025-2027), ia mengajak Dishub berpikir bagaimana membangun integrasi layanan MRT dengan TJ dan bagaimana memindahkan pengguna mobil pribadi ke MRT maupun TJ.
“Jangan sekali-kali berfikir menghapuskan layanan yang terbukti telah memiliki jaringan layanan begitu banyak dan luas, kecuali hanya mencari mudahnya saja,” tandasnya.