34 Persen Pelajar SMA di Jakarta Terindikasi Punya Gangguan Mental

JAKARTA - Kesehatan mental termasuk salah satu aspek yang semakin mendapat perhatian dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan pelajar atau remaja. Di kota besar seperti Jakarta, tekanan hidup yang tinggi sering kali menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda.

Mulai dari tuntutan akademik, pergaulan sosial, hingga tekanan dari media sosial, semua ini dapat berdampak pada kesehatan mental mereka.

Menurut penelitian terbaru dari Health Collaborative Center (HCC), Fokus Kesehatan Indonesia (FKI), dan Yayasan BUMN melalui program Mendengar Jiwa Institute, sebanyak 34 persen pelajar SMA terindikasi mengalami masalah mental emosional. Bahkan tiga dari sepuluh pelajar bahkan sering merasa marah atau terlibat konflik, menunjukkan adanya tekanan mental yang serius.

Dalam hal ini, kesehatan mental yang baik memungkinkan remaja untuk menjalani hidup dengan lebih bahagia dan produktif. Ini memengaruhi cara mereka berpikir, merasa, dan bertindak dalam menghadapi tantangan. 

Penelitian ini dipimpin oleh Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, bersama timnya, termasuk Bunga Pelangi SKM, MKM, dan Prof. Nila F. Moeloek. Studi ini pun menjadi dasar pengembangan Zona Mendengar Jiwa, sebuah program untuk mendukung kesehatan mental remaja melalui edukasi, intervensi, dan dukungan berbasis data.

"Ini adalah sinyal kalau kita harus lebih memperhatikan kesehatan mental remaja di kota besar seperti Jakarta. Data ini lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya dan perlu dianalisis lebih mendalam,” jelas dr. Ray dalam konferensi persnya beberapa waktu lalu. 

Lebih lanjut, penelitian ini juga menemukan 10 persen pelajar merasa rentan terhadap masalah kesehatan mental, menunjukkan rendahnya kesadaran diri (self-awareness) mereka akan pentingnya menjaga kesehatan mental.

Curhat ke Teman, Bukan Guru Menariknya, kebanyakan pelajar lebih nyaman berbagi masalah mental dengan teman daripada guru. Sebanyak 67 persen pelajar mengaku enggan mengunjungi ruang BK untuk konseling. Hal ini menunjukkan pentingnya peran peer counselor atau teman sebaya sebagai pendengar dan pendukung pertama.

"Penelitian memang sejatinya fokus pada hipotesis utama yang mana dari penelitian ini adalah ada risiko gangguan kesehatan jiwa pada anak SMA di Jakarta. Beberapa persoalan ditemukan seperti trust issue, ternyata mereka tidak bisa bicara selain ke teman mereka, perlu ada kajian baru dari studi ini, sehingga menciptakan ruang yang aman untuk berbicara," kata Prof. Nila Moeloek.

Di kesempatan yang sama, Prof. Nila Moeloek turut mengingatkan agar peran teman sebaya ini tetap berada dalam batas sebagai pendengar.

“Pelajar masih butuh bimbingan dari orang dewasa, seperti guru atau orangtua, untuk memastikan mereka mendapat saran yang tepat dan tidak menyesatkan,” ujarnya.

Melalui Program Zona Mendengar Jiwa, lantas solusi untuk meningkatkan kesehatan mental di sekolah ada beberapa poin yang ditemukan. Tiga langkahnya mencakup:

  1. Skrining Kesehatan Mental dengan mengidentifikasi pelajar yang membutuhkan bantuan.

  2. Konseling berbasis sekolah yang mempermudah pelajar untuk mendapat dukungan dari guru dan tenaga profesional.

  3. Rebranding ruang BK (bimbingan dan konseling) yang dinilai dapat mengubah citra ruang BK menjadi lebih ramah dan menarik bagi pelajar.

Program ini juga melibatkan guru, teman sebaya, dan orang tua agar sekolah menjadi tempat yang mendukung kesehatan mental. Dengan langkah ini, kita bisa membantu menciptakan generasi muda yang sehat, baik secara fisik maupun mental, untuk menyambut Indonesia Emas 2045.

"Hasil penelitian ini diturunkan menjadi sebuah rekomendasi yang diberikan kepada institusi pendidikan yang bernama Zona Mendengar Jiwa yang harapannya dapat diterapkan oleh pihak sekolah terutama pelaksanaan skrining kesehatan mental, identifikasi masalah dan konseling berbasis sekolah, dan konseling sebaya serta integrasi layanan kesehatan dengan sekolah."

"Rangkaian ini sejalan dengan upaya negara dalam membentuk generasi muda yang sehat fisik dan mental dalam menyongsong Indonesia Emas 2045", ujar Program Manager Health and Wellbeing Yayasan BUMN, Heru Komarudin.