Korban Pelecehan Seksual Agus Buntung Capai Belasan: Dia Layak Dilabeli Residivis Kelas Kakap

JAKARTA – Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pria disabilitas berinisial IWAS alias Agus Buntung di Mataram di Nusa Tenggara Barat menarik atensi publik. Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menyebut IWAS bukan penjahat kemarin sore, merujuk pada jumlah korbannya yang mencapai belasan.

I Wayan Agus Suartama (IWAS) atau yang karib disapa Agus Buntung mendadak menjadi perhatian masyarakat se-Indonesia. Pria disabilitas ini telah dijadikan tersangka karena kasus kekerasan seksual. Tak tanggung-tanggung, kata kepolisian sudah ada 15 orang yang melapor sebagai korban, bahkan ada di antaranya masih di bawah umur.

Agus mulanya memperdaya korban melalui rayuan, atau yang disebut grooming behaviour, sebagaimana dijelaskan Reza Indragiri Amriel. Setelah korban terperdaya lewat rayuannya, barulah Agus melancarkan aksinya, melakukan kekerasan seksual.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf menemui Kapolda NTB Irjen Pol Hadi Gunawan untuk membahas kasus IWAS penyandang disabilitas tunadaksa yang menjadi pelaku dugaan kasus TPKS di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Senin (9/12/2024). (ANTARA/HO-Biro Humas Kemensos)

Reza bahkan menyebut Agus sebagai residivis, merujuk pada korban yang mencapai belasan. Ia tidak bisa memandang Agus sebagai pelaku kejahatan kemarin sore atau pelaku kejahatan seksual amatiran.

“Karena korbannya sampai 15 orang, maka ia layak disebut residivis kelas kakap, yang sudah sepatutnya mendapat perlakuan ekstra,” kata Reza.

Bukan Penjahat Kemarin Sore 

Sebelumnya, Agus dilaporkan ke kepolisian oleh seorang mahasiswi atas kasus pelecehan seksual. Kasus ini sebenarnya pertama kali mencuat pada Oktober 2024. Namun kala itu publik menyangsikan laporan tersebut, karena kondisi Agus sebagai disabilitas tunadaksa.

Setelah adanya laporan tersebut, tim kepolisian melakukan penyelidikan. Agus pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB dan kasusnya menjadi sorotan publik.

Sampai saat ini, ada 15 perempuan, termasuk anak di bawah umur, yang telah melapor sebagai korban kekerasan seksual Agus. Dalam melancarkan aksinya, Agus menggunakan trik memanipulasi melalui komunikasi verbal yang dapat memengaruhi emosi korban.

Melihat kasus ini, dengan jumlah korbannya yang mencapai belasan orang, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menyebut Agus sebagai residivis. Reza mengungkapkan ada perbedaan definisi residivisme dari segi hukum dan psikologi forensik.

Dari sisi psikologi forensik, residivis adalah pengulangan perbuatan jahat, terlepas dari berapa kali ia keluar masuk penjara.

“Sebutan residivis bagi IWAS tidak ditentukan berdasarkan berapa kali keluar masuk penjara, tapi berapa jumlah korbannya,” ucap Reza kepada VOI

“Bahwa ada lebih dari satu korbannya kita tidak bisa memandang IWAS pelaku kejahatan kemarin sore atau pelaku kejahatan seksual amatiran. Korban 15 orang, layak disebut residivis kelas kakap yang sudah sepatutnya mendapt perlakuan ekstra,” sambungnya.

Kekerasan seksual yang dilakukan penyandang disabilitas Agus membuktikan bahwa modus kekerasan seksual semakin kompleks. Dalam kasus ini, IWAS disebut melakukan grooming behaviour untuk menaklukkan targetnya. 

Untuk itu, Reza mendorong masyarakat semua untuk waspada terhadap orang yang berindak-tanduk ramah, berperilaku santun, bahkan orang-orang yang memanfaatkan kondisi tubuh mereka untuk menjahati mereka.

"Dalam sangat banyak kasus kekerasan seksual, cara yang dilakukan adalah membuat kita sungguh-sungguh terlena dan nantinya akan terkejut saat sadar saat kita menjadi korban kekerasan seksual. Untuk itu kita harus tetap waspada berhadapan dengan siapa pun," tegasnya. 

Keringanan Hukuman?

Belakangan, muncul kabar IWAS alias Agus meminta belas kasihan dan berhadap kasusnya diselesaikan dengan damai. Dalam persidagan pidana, kata Reza, kondisi disabilitas terdakwa bisa menjadi hal yang meringankan hukuman sekiranya ia divonis bersalah.

Tapi jika dipikir ulang, terindikasi kuat bahwa IWAS justru menjadikan kondisi disabilitasnya sebagai instrumen kejahatan. Ia memanfaatkan stereotip yang masyarakat bangun, sebuah stereotip yang keliru, bahwa kondisi disabilitas membuat individunya tidak mungkin berpikir apalagi melakukan kejahatan.

“Kondisi lahiriah itu IWAS manfaatkan untuk merebut perasaan iba dan kepercayaan target (korban), lalu ia khianati simpati para kaum hawa dengan kemudian menjahati mereka,” jelasnya.

Karena itu, alih-alih meringankan, Reza menilai pemanfaatan kondisi disabilitas sedemikian rupa oleh IWAS justru bisa menjadi hal yang memberatkan. Apalagi jika hakim menyelami beban berat yang para korban alami. Toh, kejahatan seksual dipandang sebagai salah satu kejahatan terberat.

Dalam psikologi, dikenal istilah PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pasca-trauma. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa ini bukan stres biasa, tapi stres yang ditandai guncangan yang sangat hebat yang dialami orang-orang yang mengalami trauma.

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel saat memberikan keterangan kepada awak media usai hadir dalam sidang lanjutan PK kasus Vina di PN Cirebon, Jawa Barat, Rabu (31/7/2024). (ANTARA/Fathnur Rohman)

Namun menurut Reza, sebagian ahli beranggapan istilah PTSD masih belum cukup representatif untuk memotret penderitaan korban kekerasan seksual. Karena para ilmuwan meyakini bahwa dampak psikologis jauh lebih besar penderitaannya, ketimbang trauma jenis lainnya.

Karena itulah alih-alih menggunakan istilah PTSD, para ilmuwan menggunakan RTS (rape trauma syndrome) untuk menunjukkan bahwa merka yang jadi korban kekerasan seksual, baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki atau perempuan, mengalami guncangan yang dahsyat yang tidak bisa dibandingkan dengan trauma jenis lainnya.

Melihat tiga hal yang telah dijabarkan, yaitu pengkhianatan terhadap simpati korban, efek guncangan jiwa yang dialami korban, dan banyaknya jumlah korban, Reza menegaskan tidak realistis jika IWAS strategi hukum dengan target vonis bebas, meski ia penyandang disabilitas.  

“Yang realistis adalah berupaya agar hakim meringankan hukuman pidana. Untuk tujuan realistis itu, jelas, syarat mendasarnya adalah IWAS harus mengakui perbuatan jahatnya,” ungkapnya.

“Mengakui kesalahan, masih berusia muda, sopan di persidangan, dan punya serbaneka kebisaan. Itulah 'amunisi' yang semestinya IWAS bawa ke ruang sidang guna memperbesar peluangnya untuk lolos dari lubang jarum,” kata Reza menyudahi.