Dianggap Tak Akomodasi Sejumlah Delik, KPK Sebut Revisi UU Tipikor Mendesak Dilakukan

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengatakan mengatakan pembaruan UU Tipikor perlu dilakukan. Langkah ini disebutnya sebagai cara Indonesia beradaptasi dengan dinamika hukum global dan memenuhi kewajiban sebagai negara yang meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Hal ini disampaikan Nawawi saat menggelar seminar hukum bertajuk 'Pembaruan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi' dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) pada Selasa, 10 Desember. Katanya, banyak pasal yang perlu dikaji lebih mendalam sebagai bahan revisi.

"Sejumlah delik belum terakomodasi dalam UU Tipikor. Pertama, trading in influence yang sering kali melibatkan penyalahgunaan pengaruh pejabat dalam transaksi bisnis," kata Nawawi dalam keterangan tertulis resmi yang dikutip Kamis, 12 Desember.

Selain itu, Nawawi juga menyinggung soal delik illicit enrichment atau pertambahan kekayaan yang tidak wajar. "Di mana mekanisme laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang dimiliki KPK belum dapat menjadi dasar dakwaan dalam kasus korupsi," tegasnya.

"(Kemudian, red) delik penyuapan di sektor swasta dan penyuapan penyuapan kepada pejabat publik asing juga belum terakomodasi," sambung dia.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengamini perbaruan UU Tipikor perlu dilakukan. Sebagai narasumber, dia bilang pemerintah memang fokus melaksanakannya untuk memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, sebagai bagian dari mandat Asta Cita ke-7.

"Dalam reformasi awal, kita pernah mencatat pembaruan regulasi Tipikor yang sangat cepat. Namun, hingga kini, harapan akan bebasnya Indonesia dari korupsi masih jauh dari target. Ini menjadi catatan penting untuk melakukan penyegaran pada peraturan perundang-undangan sekaligus memperkuat komitmen aparat penegak hukum agar pemberantasan korupsi dapat diwujudkan secara optimal," ujarnya.

Harmonisasi hukum nasional dengan kerangka kerja internasional, khususnya sesuai implementasi UNCAC yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU RI Nomor 7 Tahun 2006 juga perlu dilakukan.

"Dengan disahkannya UNCAC, kita memiliki kewajiban untuk mengadopsi ketentuan-ketentuannya ke dalam hukum nasional. Pengaturannya harus selaras dengan standar internasional untuk memfasilitasi kerjasama lintas negara yang lebih efektif," tegas Yusril.

Sementara itu, Topo Santoso yang merupakan Guru Besar Hukum Universitas Indonesia menyebut UU Tipikor yang berlaku saat ini belum sejalan dengan UNCAC. 

"Beberapa ketentuan terutama yang bersifat pidana, memerlukan pengaturan spesifik untuk dapat diterapkan," katanya saat hadir sebagai narasumber.

"Ketentuan-ketentuan tersebut, seperti yang diatur dalam Bab III UNCAC tentang kriminalisasi, tidak bersifat langsung berlaku (non-self-executing) dan membutuhkan pengaturan dalam undang-undang nasional,” pungkas Topo.