Dari Sidang Kasus Tata Niaga Timah, Ahli Sebut Ada Kekeliruan dalam Penghitungan Kerugian Lingkungan
JAKARTA - Ahli Ekologi dan Teknik Perhitungan Kerugian Lingkungan Hidup, Dr. Dadan Sudana Wijaya,S.E.,M.I.L menilai ada beberapa kesalahan mendasar dalam perhitungan kerugian lingkungan berdasarkan Permen LH No 7 Tahun 2014 yang digunakan dalam kasus korupsi senilai Rp 300 Triliun.
“Saya sudah baca perhitungan kerugian lingkungan di dakwaan yang berdasarkan Permen 7 dan saya rasa ada beberapa kekeliruan yang dilakukan dalam penghitungan kerugian tersebut. Sebagai contoh terkait masalah air, dalam penghitungan tersebut menggunakan luasan sementara berdasarkan permen 7 seharusnya berdasarkan kubikasi,” tutur Dadan Sudana dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan tersangka Thamron Cs di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Selain itu, Dadan menilai terkait tata air untuk menentukan tarif ganti ruginya pun penghitung kerugian negara menggunakan baku mutu yang sama persis dengan Permen No 7 tersebut yakni PHnya 7-9 padahal sebenarnya nilai baku mutu di masing-masing daerah berbeda.
“Misalkan soal PH, yang dipakai menghitung PH airnya 7-9 sementara baku mutu air di Bangka hanya 4. Harusnya digali dahulu data-data nilai parameter yang ada di Bangka tidak bisa dimasukkan begitu saja,” ujar Dadan.
Dadan juga menyatakan bahwa dirinya tidak yakin ada kerusakan lingkungan dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah tersebut. Sebab penambangan timah tidak menggunakan zat kimia apa pun dan kalau ada limbah hanya berupa air cucian material dan limpasan air hujan.
“Apalagi KLHK menyebutkan bahwa proper pertambangan PT Timah masuk proper biru, artinya sudah sangat baik. Sementara pada smelternya masuk kategori emas, yang artinya negara dalam hal ini KLHK mengakui bahwa pengolahan timahnya tak bermasalah. Kalau biru saja sudah tidak ada pelanggaran lingkungan apalagi dengan proper emas,” tambahnya.
Sementara Ahli Kerusakan dan Remediasi Tanah/Lahan, Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc. Agr menyatakan dalam menghitung kerugian lingkungan itu perlu seorang ahli yang bukan hanya sekadar memasukkan rumus-rumus untuk menghitung sebab kalo seperti itu anak SMA juga bisa menghitung.
Baca juga:
- Polda Sumbar Pastikan Polisi Tersangka Penembakan Polisi Diproses Hukum
- Dua Pencuri Burung Kicau Babak Belur Diamuk Massa, Polisi Lepaskan Tembakan Peringatan
- Dituntut Jaksa Bebas, Guru Honorer Supriyani Jalani Tes PPPK di Kendari
- Kapolri Ancam Pecat Aipda WH Bila Terbukti Minta Rp50 Juta di Kasus Guru Honor Supriyani
“Setiap ekosistem memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga tak bisa disamaratakan. Misalnya di satu tempat ada harimau, parameter yang sama tidak bisa diberlakukan di daerah lain yang tidak punya para meter itu. Selain itu tanah juga punya klasifikasi sendiri, ad akelas-kelasnya tergantung kondisi,” ujar Gunawan.
Misal untuk menghitung kerusakan tanah dengan luas 70 ribu hektare apakah cukup mengambil beberapa sampel saja, itu tidak mungkin. Pasti jenis tanahnya berbeda-beda dan butuh ketelitian. “Jika hanya mengambil beberapa sampel saja artinya hanya eksplorasi dan jika itu dilakukan pasti banyak kesalahan.
Ketika disinggung soal apakah ada kewajiban dalam jangka waktu tertentu pemegang IUP harus melakukan reklamasi, Gunawan menyatakan selama IUPnya masih berlaku belum dilakukannya reklamasi bukan sebuah pelanggaran.
“Misal dapat izin ratusan hektare, tapi baru diolah beberapa puluh hektare. Nanti reklamasinya, bisa dilakukan terakhir atau secara bertahap. Karena itu ada jaminan reklamasi maka reklamasi itu harus direncanakan dan disesuaikan dengan peruntukannya kelak,” kata Ahli Kerusakan dan Remediasi Tanah/Lahan ini.
Gunawan menyatakan sering terjadi kesalahkaprahan di publik bahwa jika dilakukan reklamasi harus kembali seperti sedia kala.
“Tidak bisa seperti itu, karena pemerintah sudah memberi izin, artinya ada hak menambang dan pastinya ada yang dirusak. Itulah sebabnya harus reklamasi, tapi bukan berarti semula hutan harus jadi hutan lagi, karena bisa saja dijadikan lahan pertanian atau lahan perkebunan atau reservoir air. Maka perencanaannya harus dilihat,” paparnya.
Apakah rencana reklamasi bisa diubah, Gunawan menyatakan hal itu mungkin saja karena beberapa factor Misalnya ada permintaan masyarakat, reklamasi bisa saja berubah. Atau misal diprediksi ada sejuta ton tambang, ternyata potensinya 2 juta maka luasan lahan yang digali juga bertambah maka perusahaan pemegang IUP boleh mengusulkan ke pemerintah terkait perubahan itu.
“Reklamasi bukan rehabilitasi, jadi tidak logis kalo hutan yang rusak dipulihkan seperti sedia kala. Maka ada beberapa pemda yang malah minta lahan direhabilitasi dan dikelola sesuai kebutuhan,” jelas Gunawan.
Sementara Ahli Manajemen Hutan Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA menegaskan dengan adanya pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah pusat dan daerah berarti negara bertanggung jawab penuh atas dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
"Penerbitan IUP oleh negara sudah melalui analisis untung rugi. Kerusakan akibat tambang adalah tanggung jawab negara, sementara badan usaha hanya bertanggung jawab pada reklamasi," katanya.
Ia juga menyoroti kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan menegaskan bahwa semua pihak harus berhati-hati dalam menghitung dampak kerugian lingkungan yang ditimbulkan.
"Menghitung nilai jasa-jasa ini tidaklah mudah. Ketika ekosistem hutan diubah menjadi tambang, hilangnya tanah, kerusakan ekosistem akibat aktivitas tambang juga harus diperhitungkan dengan cermat," ujarnya.
Ia juga menuturkan, menghitung kerugian lingkungan sebaiknya menggunakan pendekatan ekonomi, karena istilah 'kerugian' memiliki konsekuensi hukum di Indonesia. Caranya adalah dengan membandingkan kondisi awal dan akhir ekosistem, misalnya tahun 2018 ada kebun singkong dan karet dengan nilai jasa ekosistem tertentu maka setelah perubahan seperti tambang, nilai ekosistem dihitung ulang nilai akhirnya lebih kecil atau lebih besar jadi jangan disebut kerugian.