Sidang Korupsi Timah, Ahli Sebut Kerugian Negara Hanya Bisa Diperiksa BPK

JAKARTA - Ahli Hukum dari Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita membeberkan perbedaan antara kerugian negara dengan kerugian keuangan pada kasus dugaan tindak pidana korupsi.

Perihal tersebut disampaikan saat menjadi ahli meringankan pada persidangan kasus dugaan koruosi pengolahan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbkn pada Senin, 25 November.

Menurutnya, penghitungan kerugian negara hanya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

“Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara pasti terkait dengan APBN atau APBD, sesuai definisi dalam Undang-Undang. Sementara kerugian negara bisa berasal dari aspek lain, seperti kerusakan lingkungan," ujar Romli dalam persidangan dikutip Selasa, 26 November.

Namun, untuk mengukur nilai kerugian lingkungan bukan wewenang BPK atau BPKP. Melainkan ahli lingkungan.

Karenanya, majelis hakim dinilai mesti mempertimbangkan keabsahan dasar dalam perhitungan kerugian negara maupun keuangan

“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor," sebutnya

Selain itu, Romli juga menilai BPKP juga tak memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian negara. Sebab, tugasnya hanya sebatas sebagai pengawas.

“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK,” tambahnya.

Menurutnya, laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan, terlebih kasus ini menyasar pihak swasta yang nota bene hanya partner kerja dari anak usaha BUMN tersebut.

“Bahasa saya ini dipaksakan. Perbuatan melawan hukum (PMH) yang menjadi dasar pun tidak terlihat jelas. Kalau di level direksi (PT Timah) ada pelanggaran wewenang, itu masih masuk akal. Tapi kalau ke swasta, belum tentu, karena mereka memiliki perlindungan dalam kontrak perjanjian,” kata Romli.