Rupiah Melemah, BI Beberkan Imbas Pemindahan Alokasi Portofolio Investor ke AS
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) Nilai tukar Rupiah hingga 19 November 2024 melemah sebesar 0,84 persen (ptp) dari bulan sebelumnya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan Pelemahan nilai tukar tersebut diakibatkan oleh menguatnya mata uang dolar AS secara luas, serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS pascahasil pemilihan umum di AS.
"Secara umum pelemahan nilai tukar Rupiah tetap terkendali, yang bila dibandingkan dengan level akhir Desember 2023 tercatat depresiasi sebesar 2,74 persen, lebih kecil dibandingkan dengan pelemahan Dolar Taiwan, Peso Filipina, dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi sebesar 5,26 persen, 5,83 persen, dan 7,53 persen," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu, 20 November.
Ke depan, Perry menyampaikan nilai tukar Rupiah diprakirakan stabil didukung komitmen Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik.
Selain itu, Perry menyampaikan seluruh instrumen moneter akan terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung penguatan nilai tukar Rupiah.
Baca juga:
Oleh sebab itu, Perry mengatakan kebijakan nilai tukar Bank Indonesia terus diarahkan untuk menjaga stabilitas r upiah dari dampak menguatnya dolar AS secara luas.
Sementara itu, Perry menyampaikan ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat mendorong terjadinya aliran modal keluar investasi portofolio hingga 18 November 2024 yang tercatat net outflows sebesar 1,9 miliar dolar AS, setelah pada Oktober 2024 tercatat net inflows sebesar 1,1 miliar dolar AS.
"Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Oktober 2024 tercatat tinggi sebesar 151,2 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," jelasnya.