Curiga Minyakita Diselewengkan, Legislator: Pemerintah Turun ke Pasar, Jangan Cuma di Belakang Meja!
JAKARTA - Harga minyak goreng rakyat atau Minyakita melesat dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah. DPR meminta Pemerintah segera turun menstabilkan harga Minyakita.
"Sungguh kita miris, Pemerintah ini tidak bisa mengontrol harga Minyakita dari tahun ke tahun. Bahkan trennya terus meningkat harganya. Padahal Indonesia merupakan penghasil crude palm oil (CPO) terbesar di dunia," kata Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam, Selasa 19 November.
Beberapa pekan terakhir, harga Minyakita melesat cukup tinggi di banyak daerah. Berdasarkan laporan Kementerian Perdagangan, harga Minyakita melambung dari HET yang ditetapkan Pemerintah yaitu Rp 15.700 menjadi Rp 17.058 per liter di 82 kabupaten/kota Indonesia. Bahkan di 32 daerah, harga Minyakita sudah mencapai Rp 18 ribu per liter.
Dengan melihat data tersebut, Mufti meminta Pemerintah untuk bertindak tegas kepada pedagang yang masih saja menjual harga Minyakita jauh di atas dari harga yang telah disepakati. Termasuk juga menindak produsen minyak yang nakal.
"Kemendag harus memastikan produsen yang tidak memproduksi Minyakita sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan dengan Pemerintah untuk ditindak tegas," ungkap Mufti.
"Kalau perlu dicabut izinnya jika masih bandel," lanjut Legislator dari Dapil Jawa Timur II tersebut.
Pemerintah mengklaim kenaikan harga Minyakita disebabkan permintaan pasar yang meningkat menjelang Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Selain itu, harga minyak curah disebut mengalami kenaikan mencapai Rp 17.119 per liter karena kenaikan harga CPO.
Mufti pun menyoroti bagaimana fenomena mahal dan langkanya minyak goreng yang terus berulang. Menurutnya ini lantaran Pemerintah kurang memiliki ‘taring’ sehingga pelaku industri berani melanggar ketentuan.
"Kementerian Perdagangan mengeluarkan suatu kebijakan, tapi kemudian tidak digubris oleh para pelaku industri. Ini kan sama saja kemudian Kemendag seperti macan ompong kan?” tukas Mufti.
Mufti juga mempertanyakan langkah Pemerintah yang lambat mengatasi persoalan mahalnya harga Minyakita, hingga terjadi kelangkaan minyak goreng rakyat tersebut.
"Sudah harganya mahal, di beberapa daerah masyarakat kesulitan mendapatkan Minyakkita. Ini jadi preseden buruk di awal Pemerintahan Prabowo," kritiknya.
Mufti khawatir mahal dan langkanya Minyakita di pasaran karena ada penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum nakal. Untuk itu, ia meminta Pemerintah mencari sumber permasalahannya.
“Jangan-jangan Minyakita diselewengkan, dioplos lalu dijual menjadi merk lain”, ujar Mufti.
Ditambahkannya, Pemerintah pun diingatkan untuk melakukan pengawasan intensif agar memastikan pengecer menjual Minyakita sesuai HET. Mufti juga meminta Pemerintah untuk bekerja sama dengan pihak industri dalam memantau dan mengendalikan harga CPO yang menjadi bahan baku utama minyak goreng.
Pasalnya, menurut Mufti, harga MinyakKita senilai Rp 17.000 itu tidak masuk akal, padahal harga CPO tahun ini lebih rendah dibandingkan saat booming harga CPO tahun 2022. Mufti mengatakan harga CPO dunia saat ini sedang stabil dan berada di kisaran US$ 700 - US$ 800 per metrix ton.
"Saya lihat ini kegagalan Pemerintah dan yakin harga MinyakKita tidak bisa ke HET Rp 15.700. Mengapa? karena yang mengelola program ini orangnya sama meskipun sudah membentuk Menko Pangan, ya orangnya sama, penerus Menteri Perdagangan juga orangnya Menko pangan," urainya.
Lebih lanjut, Mufti menilai perlunya Pemerintah bekerja sama dengan industri dalam mempertimbangkan pemberian subsidi atau insentif bagi produsen demi menekan biaya produksi. Di samping itu, ia menyebut penting juga adanya kolaborasi dengan daerah dalam pengawasan dan penetapan harga di wilayah masing-masing.
Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan perdagangan itu juga mendorong Pemerintah untuk turun langsung ke lapangan dalam mengatasi masalah Minyakita ini. Menurut Mufti, bertemu langsung mendengarkan keluhan pedagang eceran dan konsumen di pasar dapat melihat kondisi real yang menjadi persoalan.
“Jangan hanya menerima laporan di belakang meja lalu membuat regulasi yang tidak sesuai dengan keadaan lapangan,” tegasnya.
"Maka dari itu penting sekali turun ke lapangan, lihat kondisi pasar. Selain bisa mendengar keluhan rakyat langsung, kita juga bisa melihat dan mendengar kenyataan yang ada karena laporan bisa dibuat dengan ideal tapi kondisi lapangan itu jauh lebih real," sambung Mufti.
Mufti mengingatkan Pemerintah untuk menjadi jembatan antara produsen dengan konsumen.
"Saya ingat speech Presiden Prabowo di pembukaan pelantikan, saat itu menyatakan ingin serius mengusahakan Swasembada pangan, nah salah satunya kan dalam hal minyak goreng. Maka masalah ini harus menjadi reminder," tuturnya.