Penunjukan Sri Mulyani dan Peluang Pendanaan Era Prabowo

JAKARTA - Penunjukan kembali Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Merah Putih bukan tanpa sebab. Prabowo merasa perlu mengangkat kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Meski sebelumnya Prabowo telah menyiapkan keponakannya, Thomas Djiwandono di kementerian keuangan. Dasar penunjukan antara lain karena berbagai pertimbangan terkait kompetensinya, Sri terbukti handal dalam mengelola ekonomi dan keuangan negara.

Penunjukan Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai Menkeu sebenarnya tidak compatible dengan visi Presiden Prabowo. Prabowo menjanjikan keberpihakan kepada rakyat dengan berbagai program populis. Sementara SMI selama ini dikenal terlalu pro-pasar.

Namun bekas Executive Director International Monetary Fund (IMF) Asia Tenggara itu diharapkan terus membawa stabilitas dan kesinambungan dalam kebijakan fiskal, terutama di tengah upaya Indonesia mengatasi tantangan ekonomi global, serta memperkuat pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

"Sosok SMI adalah figur dengan integritas dan kredibilitas yang baik sehingga mendapatkan kepercayaan pelaku pasar," kata ekonom juga Direktur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies), Yusuf Wibisono, dihubungi VOi, 10 November.

Yusuf menambahkan, alasan dipilihnya lulusan Master dari University of Illinois at Urbana Champaign, Amerika Serikat ini karena SMI juga memiliki kedekatan dengan lembaga keuangan multilateral dan mudah diterima oleh komunitas keuangan internasional karena pernah menjabat Direktur Operasional Bank Dunia. Non partisan dan lebih banyak dituntun pertimbangan profesional dan argumentasi rasional dalam pembuatan kebijakan, menjadi kunci kepercayaan banyak pihak pada Menkeu ini. "Kedekatan akses kepada sumber pembiayaan global dan komunitas keuangan dunia ini menjadi alasan utama terpilihnya kembali SMI sebagai Menkeu," ujarnya.

Selain itu, pengalaman kepemimpinannya selama menjadi Menteri Keuangan sejak 5 Desember 2005 sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membuatnya memiliki kredibilitas dan kepercayaan, baik di dalam maupun luar negeri. Keputusan ini sejalan dengan kebutuhan Prabowo untuk memastikan bahwa pemerintahan barunya memiliki tim yang mampu menjaga pertumbuhan ekonomi sambil menarik investasi asing secara efektif.

Namun terlepas alasan tersebut, Presiden Prabowo harus bersiap atas resiko menunjuk SMI jadi Menkeu Kembali. Menurut Yusuf, SMI punya dua catatan minus sebagai Menkui. Pertama, gagal dalam meningkatkan penerimaan pajak, dalam dua program tax amnesti. Kedua, gagal menahan beban utang pemerintah. Utang makin membebani APBN secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Beban bunga utang terus meningkat dalam 1 dekade terakhir, terutama pasca pandemik. Tahun 2015 beban bunga utang “baru” di kisaran Rp 150 triliun, kini menjadi Rp 500 triliun pada APBN 2024. Melonjak dari 17,9% menjadi 24,4%.

Maka, memilih SMI tentu memiliki resiko bagi Presiden Prabowo. Program-program populis Presiden Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), membutuhkan dukungan anggaran yang masif. Karena itu kenaikan tax ratio mutlak dibutuhkan. Namun dalam 10 tahun terakhir, tax ratio kita stagnan. Tanpa kenaikan tax ratio, APBN dipastikan akan semakin dalam terbenam dalam tumpukan utang. "Kita tentu patut khawatir bila penunjukan kembali SMI didorong oleh motivasi menjadikan utang sebagai andalan membiayai program-program populis presiden terpilih," jelas ekonom UI ini.

Kita berharap Presiden Prabowo memiliki visi dan arahan yang jelas bagi Menkeu untuk serius meningkatkan kinerja penerimaan pajak, sekaligus menurunkan beban utang pemerintah. Menkeu tidak boleh lagi melanggar disiplin makroekonomi atas nama apapun. Di masa pandemi, untuk pertama kalinya pasca krisis 1997, pemerintah melanggar 2 disiplin makro ekonomi terpenting, yaitu melanggar disiplin fiskal berupa batas maksimum defisit anggaran 3% dari PDB dan bank sentral melakukan monetisasi utang pemerintah dimana BI membeli SBN di pasar primer.

Potret Keluarga Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang mengenakan baju kurung di pelantikan menteri ( Instagram/smindrawati)

Menkeu juga harus mampu meningkatkan penerimaan perpajakan. Hanya dengan tax ratio yang lebih tinggi kita mampu menurunkan rasio utang pemerintah pada akhir 2023 yang mencapai 38,59% dengan nilai absolut utang pemerintah menembus Rp 8.145 triliun.

Di era Presiden Prabowo, tantangan bagi Menkeu tidak hanya membiayai program-program populis Presiden Prabowo. Namun juga pembayaran beban utang yang sangat memberatkan. Di era Presiden Prabowo, masalah beban hutang ini akan semakin serius. Hingga kita masih perlu menjalin hubungan baik dengan lembaga seperti IMF (Dana Moneter Internasional) dan negara lain yang bisa memberi pinjaman.

Hubungan Indonesia dan IMF memang pasang surut, IMF yang sempat memberi pinjaman saat krisis mendera Indonesia. Pengalaman dengan IMF dinilai banyak campur tangan mengatur pemerintahan berdaulat, ditengarai beberapa tekanan dialami pemerintah saat itu. Antara lain, dorongan untuk menutup sejumlah bank nasional, dengan alasan restrukturisasi, serta campur tangan lain, beberapa RUU diduga bermuatan tertentu, dengan alasan restrukturisasi makin membuka akses swastanisasi terhadap badan-badan usaha.

Namun Prabowo sebagai Presiden Indonesia ingin mempertahankan keanggotaan Indonesia di IMF, keputusan ini mendatangkan keuntungan sekaligus tantangan. IMF sebagai organisasi keuangan internasional memiliki peran dalam memberikan bantuan, kebijakan, serta analisis ekonomi global. Namun, keanggotaan IMF juga seringkali diperdebatkan terkait dampak dan persyaratan yang diberlakukannya.

Keuntungan dan kerugian Indonesia jika tetap bertahan di IMF antara lain, akses ke Dana Bantuan dalam Krisis Ekonomi. Dalam kondisi darurat, seperti krisis keuangan atau bencana alam. IMF menyediakan fasilitas pinjaman bagi negara anggotanya. Sehingga IMF bisa menjadi sumber dana yang dapat menstabilkan ekonomi dan menjaga nilai tukar rupiah. Ini "jaring pengaman" penting bagi ekonomi nasional yang berguna kala situasi mendesak.

Bertahan di IMF juga, akan memberikan kepercayaan investor asing. IMF memiliki standar-standar ekonomi internasional yang mencakup kebijakan fiskal, moneter, dan pengawasan keuangan. Jika Indonesia mengikuti standar ini, investor asing akan lebih percaya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Keanggotaan di IMF dapat memperkuat stabilitas ekonomi. Ini akan membantu Prabowo menjaga citra baik di kalangan investor serta meningkatkan aliran investasi asing langsung (FDI).

IMF membantu negara anggotanya melakukan reformasi ekonomi untuk pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan. IMF juga menyajikan data ekonomi komprehensif dan kredibel dari seluruh dunia untuk merumuskan kebijakan ekonomi menghadapi dinamika global. IMF memonitor kebijakan ekonomi negara-negara anggotanya dan menjaga stabilitas nilai tukar di seluruh dunia.

Dilema Pinjaman Hutang Luar Negeri

Sementara kerugian bersama IMF, adalah ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Indonesia bisa menghadapi beban utang yang mungkin memberatkan perekonomian ke depan.

Juga ada intervensi dan berpengaruh terhadap Kebijakan domestik. Sebab pinjaman seringkali disertai dengan syarat-syarat tertentu, seperti pengetatan fiskal atau reformasi ekonomi yang terkadang kontroversial. Seperti krisis moneter Asia pada 1997-1998, Indonesia diharuskan menerapkan kebijakan-kebijakan yang sangat ketat, yang sebagian besar berdampak buruk bagi rakyat Indonesia.

Laporan Utang Luar Negeri Indonesia Tahun 2024 Menurun (Dok: Bank Indonesia)

Selain itu pemerintah berpotensi menghadapi penolakan rakyat, Indonesia memiliki pengalaman pahit dengan IMF. Kebijakan IMF saat itu dirasa merugikan kepentingan nasional. Ini bisa memicu ketidakpuasan publik dan mengancam popularitas Prabowo.

Ketergantungan pada Kebijakan global, cenderung mengarah pada pasar bebas dan liberalisasi ekonomi, yang tidak sesuai dengan kebutuhan ekonomi domestik. IMF memiliki kepentingan global yang mungkin bertentangan dengan visi ekonomi nasional. Padahal kebijakan Prabowo berpihak pada kemandirian ekonomi. Ini bisa menimbulkan konflik antara pemerintah dan IMF.

Selain mengandalkan pinjaman dari IMF. Pemerintahan Prabowo juga akan mengandal pembiayaan dari sejumlah negara. Menurut Guru besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana salah satu misi kunjungan Prabowo ke sejumlah negara seperti China, Amerika dan Inggris selama 16 hari lawatannya. Juga antara lain untuk menghimpun pendanaan dan investasi.

"Di Tiongkok kemungkinan Prabowo akan bicara selain meminta negara itu mendorong pengusahanya berinvestasi di Indonesia, juga kemungkinan mendapat hutang, karena Tiongkok salah satu negera yang memungkinan untuk itu, karena APBN kita masih membutuhkan pinjaman luar negeri. Sementara di Amerika Serikat, bicara soal ekonomi, terutama spesifik tentang pengadaan alutsista," kata Hikmahanto, dihubungi Voi, Senen,11 November.

Bagi Prabowo, penting untuk mempertimbangkan secara matang keuntungan dan kerugian ini. Strategi yang mungkin bisa diterapkan dengan memanfaatkan keanggotaan IMF atau negara lainya sebagai langkah antisipatif, tetapi tetap memperkuat kemandirian ekonomi agar tidak bergantung bantuan luar negeri.