Penghayat Kepercayaan Resmi Masuk Kolom Agama di KTP dan KK dalam Memori Hari Ini, 7 November 2017

JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mereka yang menganut penghayat kepercayaan diakui negara secara administrasi. Artinya negara menjamin pula setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama di KTP dan KK.

Sebelumnya, pemerintah tak pernah serius mengakui penghayat kepercayaan. Kehadiran mereka memang diakui. Masalahnya dalam administrasi penghayat kepercayaan bak diasingkan dari enam agama resmi. Agama mereka tak boleh dituliskan di KTP atau KK.

Sila pertama dalam Pancasila menegaskan terkait ketuhanan yang maha esa. Artinya setiap warga negara diberikan kebebasan dalam beragama. Urusan ketuhanan lalu jadi pegangan penting hidup bermasyarakat.

Masalahnya, pemerintah Indonesia hanya mengakomodir enam agama resmi saja. Antara lain Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Agama di luar enam agama resmi secara administrasi tak diakui.

Kondisi itu berlangsung bagi penganut kepercayaan nenek moyang Indonesia – penghayat kepercayaan macam Ugamo Bangsa Batak, Sapto Darma, hingga Marapu. Barang siapa yang menganut penghayat kepercayaan, mereka akan kesulitan mendapatkan haknya sebagai warga negara Indonesia.

Sebuah acara pertemuan penghayat kepercayaan masyarakat adat di Indonesia. (ANTARA)

Kondisi itu karena secara prinsip penghayat kepercayaan diakui. Namun, secara administrasi tidak. Kondisi itu jika merujuk pada pasal pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 (1) UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Intinya penghayat kepercayaan hanya boleh mengosongkan kolom agama saja. Mereka tak boleh menuliskan agama mereka. Kondisi itu dianggap menciderai keberagaman Indonesia. Penghayat kepercayaan adalah agama yang berasal dari nenek moyang orang Indonesia, bukan agama impor seperti enam agama resmi.

Puncaknya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan lainnya menggugat pasal terkait mengosongkan kolom agama ke MK. Mereka ingin penghayat kepercayaan diakui oleh pemerintah Indonesia. Sidangnya pun berlangsung sepanjang 2017.

“Jadi, Yang Mulia, saya hadir di sini saya cukup berterima kasih, Yang Mulia karena saya bisa bertatapan dengan Yang Mulia. Bantu kami, Yang Mulia, tidak banyak meminta kami, Yang Mulia. Kami hanya ingin dibantu Yang Mulia, di kolom KTP itu untuk tidak menjadi kolom tanda garis (-), tetapi Kepercayaan Yang Mulia,” ungkap penyintas Ugamo Bangsa Batak, Rosni Simarmata kepada hakim MK dikutip laman detik.com, 5 Mei 2017.

Mereka bagian dari penghayat kepercayaan punya harapan bahwa MK dapat mengambulkan permintaan mereka. Pucuk dicinta ulam tiba. Keinginan yang ditunggu-tunggu penghayat kepercayaan hadir pada 7 November 2017.

MK secara resmi mengabul seluruh gugatan terkait pengosongan kolom agama KTP oleh penghayat kepercayaan. Putusan MK itu membuat penghayat kepercayaan punya derajat yang sama dengan enam agama resmi. Agama mereka pun bisa muncul di KTP dan KK.

Keputusan itu disambut dengan gegap gempita oleh para penghayat kepercayaan di seantero Indonesia. Keputusan itu bak mengakhiri diskriminasi bahwa agama nenek moyang kalah kelas dengan agama impor.

"Bagus itu. Saya senang sekali sama Arief Hidayat karena kalimatnya bagus sekali. Agama impor kita akui, masa agama leluhur tidak kita akui. Benar itu. Jadi, kemudian orang membodohi orang lain, membodohi publik bahwa seakan-akan hanya enam agama itu yang diakui oleh undang-undang. Enggak benar. Jadi, langkah MK itu bagus sekali.”

"Mereka diakui dan kemudian dia bikin KTP. Selama ini, kan, mereka tidak punya KTP sehingga tidak bisa mengurus kartu pintar, enggak bisa mengurus kartu kesehatan, enggak bisa BPJS. Sekarang mereka bisa sama dengan warga lain yang punya KTP. Saya kira itu langkah kemajuan bagus," ujar sosiolog, Thamrin Amal Tomagola dikutip laman kompas.com, 7 November 2017.