Pegiat Antikorupsi Minta MA Tunjukan Profesionalitasnya di Kasus Mardani Maming
JAKARTA - Aktivis dan pegiat antikorupsi Bambang Harymurti meminta hakim Mahkamah Agung untuk menunjukkan profesionalitasnya dan berani melawan arus jika diperlukan dalam kasus Mardani H Maming. Bambang bilang, tidak cukup bukti menetapkan Maming sebagai pihak yang bersalah.
“Saya mengingatkan Mahkamah Agung bahwa lebih baik melepas 10 orang yang bersalah daripada menahan satu orang yang tidak bersalah,” ujarnya dalam pesan elektronik yang diterima di Jakarta, Rabu, 6 November.
Bambang melakukan analisis terhadap putusan persidangan yang menjerat Mardani H Maming dalam kasus dugaan suap saat menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Fenomena hukum di Indonesia belakangan ini menunjukkan tren penurunan kualitas independensi. Ia menilai bahwa proses hukum yang seharusnya mengedepankan keadilan kini semakin jauh dari asas-asas tersebut.
“Dengan semua kajian dari akademisi seperti UII, UI, UGM, Unpad, dan Undip, serta aktivis seperti Prof. Todung, saya memutuskan untuk melawan arus, karena ternyata Mardani H Maming tidak terbukti bersalah,” tuturnya.
Pernyataan Bambang ini senada dengan Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, yang menganggap bahwa dalam kasus ini, terdapat indikasi miscarriage of justice atau peradilan sesat. Menurut Todung, keputusan hakim cenderung berat sebelah dalam menangani perkara tersebut.
Ia mengkritik majelis hakim yang dalam pengambilan keputusan hanya mempertimbangkan kesaksian dari saksi yang tidak menyaksikan langsung kejadian, sementara kesaksian lain yang berbeda diabaikan.
“Dalam kasus ini, hakim seperti terperangkap dalam persepsi yang tidak objektif,” ujar Todung.
Pendapat Prof. Todung ini diperkuat oleh Prof. Hanafi Amrani yang melakukan eksaminasi kasus tersebut. Prof. Hanafi menilai ada kesalahan dalam penerapan hukum yang menyebabkan fakta hukum diabaikan.
Ia juga menyebut bahwa pasal yang digunakan untuk menjerat Mardani H Maming tidak memiliki landasan fakta yang kuat. Berdasarkan pasal tersebut, kasus suap harus memenuhi beberapa unsur, termasuk adanya pemberi, penerima, dan kesepakatan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
“Unsur-unsur tersebut tidak terbukti dalam persidangan. Tidak ada meeting of minds (kesamaan kehendak) antara kedua pihak. Namun, hakim menyimpulkan bahwa aliran dana ke perusahaan terdakwa adalah bentuk balas jasa, padahal tidak ada bukti kesepakatan,” jelasnya.
Baca juga:
- Ghufron Soal Capim dan Dewas KPK: Lanjut atau Berubah Kewenangan Presiden Prabowo
- Terpisah dari Jokowi, Alasan KPK Tetapkan Jet Pribadi Dipakai Kaesang Bukan Gratifikasi
- BNPB Buka Posko Aduan Korban Hilang Imbas Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flotim NTT
- Terima Kunjungan Presiden, Jokowi: Semoga Pak Prabowo Diberi Kelancaran
Menurut Prof. Hanafi, pertimbangan hakim dalam kasus ini merupakan lompatan pemikiran yang tidak dapat diterima dan tidak terbukti secara sah di pengadilan.