Jalan Keluar Supaya Tak Terjebak Fenomena Makan Tabungan

JAKARTA – Fenomena makan tabungan atau yang dikenal dengan istilah "mantab" ramai dibahas selama hampir setahun ke belakang. Menurut sejumlah ekonom, hal ini terjadi lantaran harga bahan makanan yang terus naik.

Tahun 2024 disebut membawa banyak tantangan bagi perekonomian Indonesia. Angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi menjadi penyebab turunnya daya beli masyarakat. Banyak orang merayakan perekonomian sekarang ini begitu lesu.

Bagi sebagian besar masyarakat, situasi ini memperburuk kondisi finansial karena mereka terpaksa memakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Laporan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut terjadi penurunan signifikan rata-rata saldo tabungan masyarakat.

Jika pada 2019 rata-rata saldo tabungan masyarakat menjadi Rp3 juta, maka pada April 2024 angka tersebut merosot menjadi Rp1,8 juta. Ini artinya, dalam lima tahun terakhir tabungan masyarakat menurun sebesar 40 persen.

Dalam periode yang sama, jumlah kelas menengah masyarakat Indonesia juga anjlok. Data terakhir Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah turun kelas, dari 57,33 juta penduduk pada 2019 menjadi 47,85 di tahun ini.

Pengeluaran Lebih Besar dari Pendapatan

BPS menyebut menurunnya jumlah kelas menengah karena pandemi COVID-19. Namun pengamat ekonomi menyebut masalahnya tidak sesederhana itu. Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi tak menampik bahwa angka PHK terus meningkat seiring pademi, namun hal ini sebenarnya sudah didiskusikan sebelumnya.

Menurut Media, kenaikan biaya sehari-hari yang tidak diimbangi kenaikan upah membuat tabungan masyarakat tergerus.

"Jadi, ibaratnya pengeluaran lebih besar daripada pendapatan sehingga 'mantab' atau makan tabungan," katanya.

Secara sederhana, makan tabungan adalah sebuah fenomena yang merujuk pada keadaan di mana seseorang membelanjakan uang tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini terpaksa dilakukan ketika ada tekanan mendesak kebutuhan sehari-hari sementara anggaran regular tidak mencukupi.

Ketika kelas menengah bergantung pada tabungan, bahkan utang, untuk belanja, ini menunjukkan konsumsi rumah tangga dan perekonomian negara yang rapuh. Padahal konsumsi warga adalah kontributor utama pertumbuhan ekonomi negara, karena menyumbang hingga 52-57 persen dari totol produk domestik bruto (PDB).

Aktivitas perdagangan di Pasar Kreneng, Denpasar, Bali, Minggu (29/9/2024). (ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal membagi kategori makan tabungan menjadi dua jenis. Pertama, yang benar-benar menggunakan sebagian tabungan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Dan kedua adalah masyarakat yang kemampuannya dalam menyisihkan gaji untuk ditabung menurun atau dengan kata lain tidak bisa menabung sebesar seperti sebelumnya.

"Jadi bukan hanya seberapa sering dan banyak dia ambil tabungannya, tapi seberapa persentase yang mereka bisa tabung," kata Faisal kepada CNBC Indonesia beberapa saat lalu.

Menurut Faisal, dua jenis masyarakat ini sama-sama disebut makan tabungan karena pertumbuhan nilai tabungan keduanya sama-sama melemah.

"Jadi artinya kecepatan mereka mengambil tabungan lebih tinggi dibandingkan mengisi tabungan atau menyisihkan gaji untuk ditabung," kata dia.

Mengelola Keuangan dengan Bijak

Apabila tabungan terus digerus untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, akan berdampak pada ketahanan dan kestabilan finansial masyarakat. Pemenuhan dana darurat dan kebutuhan dana dalam jangka panjang terancam. Selain itu, ketidakpastian finansial juga membayangi masa depan.

Ketika simpanan kian menipis, maka timbul potensi menambah utang baru karena utang dinilai sebagai jalan keluar paling logis, dan cepat, saat tabungan terkuras sementara kebutuhan mendesak harus segera dipenuhi. Ketika penambahan utang terjadi tanpa ada kepastian pembayaran, maka berisiko muncul kredit macet.

Mengelola keuangan dengak bijak dapat membantu individu terhindar dari situasi makan tabungan untuk kebutuhan sehari-hari. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan membuat anggaran dari penghasilan bulanan.

Beberapa perencana keuangan menyebutkan bahwa kita dapat mengalokasikan pendapatan sesuai kebutuhan atau menggunakan formula rencana anggaran keuangan, yaitu 10:20:30:40.

“Sebanyak 10 persen untuk biaya sosial; 20 persen untuk tabungan, investasi, dan proteksi; 30 persen untuk cicilan utang; dan 40 persen untuk biaya rumah tangga,” demikian mengutip laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Membuat anggaran dari penghasilan dapat membantu disiplin dalam menabung. (Pexel)

Tips lainnya yang bisa dilakukan supaya tidak terjerumus dalam kelompok ‘mantab’ adalah memisahkan dana darurat. Dana ini nantinya membantu mengatasi kejutan finansial tanpa harus menguras tabungan.

Ketiga, mencari sumber penghasilan tambahan melalui pekerjaan paruh waktu atau biasa disebut proyek sampingan. Pendapatan tambahan dapat membuat meningkatkan fleksibiltas keuangan.

Keempat memprioritaskan pembayaran utang untuk menghindari beban bunga yang tinggi. Terakhir yang tak kalah penting adalah dapat membedakan mana kebutuhan dan keinginan. Hal ini cukup sulit dilakukan sebagian orang, padahal membedakan kebutuhan dan keinginan dapat membantu menjaga tabungan.

“Hal ini yang bisa membuat seseorang menjadi berutang jika tidak bisa mengontrol pengeluarannya. Kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang berbeda,” dilansir OJK.